Jokowi & Hakim Konstitusi
Berita

Jokowi & Hakim Konstitusi

Pilihan Presiden Jokowi terkait pengganti Maria Farida Indrati sebagai Hakim Konstitusi akan menjadi salah satu momentum strategis untuk membuktikan kepada publik bahwa pemilihan dilakukan secara independen dan imparsial.

Bacaan 2 Menit

 

Figur seperti Hamdan Zoelva, Moh. Mahfud MD, atau Ahmad Fadlil Sumadi (sekiranya mereka bersedia) merupakan figur yang sangat strategis dan jelas berpengalaman untuk dipilih oleh Presiden Joko Widodo sebagai Hakim Konstitusi. Jika alternatif ini yang dipilih maka besar kemungkinan Presiden Joko Widodo akan terbebas dari stigma politisasi dalam memilih Hakim Konstitusi, khususnya stigma court-packing dalam rangka mengamankan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dan memuluskan langkahnya untuk menjadi calon Presiden dalam Pilpres 2019, sebagaimana yang pernah dilakukan antara lain oleh Presiden James Madison, Presiden Abraham Lincoln, dan Presiden Franklin Delano Roosevelt terhadap konfigurasi Mahkamah Agung Amerika Serikat (Willam H. Rehnquist, 2002).

 

Secara sederhana, court-packing dimaknai sebagai segala daya dan upaya yang dapat dilakukan pihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi dan bahkan menentukan komposisi dan konfigurasi (majelis) hakim di pengadilan agar dapat mengamankan kepentingannya (Barry Cushman: 2013). Court-packing ini dapat terjadi di negara manapun, tidak terkecuali Indonesia, bahkan dalam konteks pemilihan Hakim Konstitusi di Indonesia (baik melalui “pintu senayan”, “pintu medan merdeka utara”, maupun “pintu Istana Presiden”), praktik court packing yang sangat dikecam keras oleh Willam H. Rehnquist (mantan ketua MA Amerika Serikat) ini dapat pula dilakukan tidak hanya oleh 3 lembaga pengusul tersebut, melainkan juga oleh suatu ‘kekuatan besar’ (inivisible hand) di luar ketiganya, meskipun secara kasat mata seolah-olah nampak terlihat tetap dipilih oleh MA, DPR, atau Presiden.

 

Oleh karena itu, pilihan Presiden Joko Widodo terkait pengganti Maria Farida Indrati sebagai Hakim Konstitusi akan menjadi salah satu momentum strategis untuk membuktikan kepada publik bahwa Presiden Joko Widodo dapat secara independen dan imparsial memilih sosok negarawan penjaga konstitusi untuk 5 tahun ke depan. Bukan sekadar memasukkan ‘agen Istana Presiden’ ke gedung Mahkamah Konstitusi, khususnya guna mengamankan hajat politik Pilpres 2019.

 

Jika hal ini dapat dilakukan maka Presiden Joko Widodo akan terbebas dari stigma untuk melakukan atau dijadikan alat oleh kekuatan besar (inivisible hand) di luar Istana Presiden dalam rangka court-packing terhadap Mahkamah Konstitusi sehingga Hakim Konstitusi yang terpilih betul-betul merupakan sosok negarawan yang matang, bukan sekedar orang yang beruntung hanya karena dekat dengan ‘pintu Istana Presiden’.

 

*)Reza Fikri Febriansyah adalah Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Direktur III & Peneliti pada Kolegium Jurist Institute (pendapat pribadi).

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait