Jokowi-JK Persoalkan Legal Standing Prabowo-Hatta
Sengketa Pilpres 2014

Jokowi-JK Persoalkan Legal Standing Prabowo-Hatta

Pakar HTN berpendapat PHPU tidak mengatur tentang legal standing seperti PUU.

Oleh:
ASH/RZK
Bacaan 2 Menit
Tim kuasa hukum Jokowi-JK saat persidangan lanjutan PHPU di MK, Jumat (8/8). Foto: RES
Tim kuasa hukum Jokowi-JK saat persidangan lanjutan PHPU di MK, Jumat (8/8). Foto: RES
Tim kuasa hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla selaku Pihak Terkait mempersoalkan legal standing (kedudukan hukum) pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa selaku Pemohon, dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilu presiden (PHPU), Jumat (8/8). Pihak Terkait menilai Pemohon tidak memiliki legal standing karena sudah menyatakan menarik diri.

Dalam tanggapannya, Tim Hukum Pihak Terkait mempertanyakan legal standing Prabowo-Hatta yang sebelumnya menolak dan menarik diri dalam proses pelaksanaan Pilpres 2014 saat pengumuman hasil rekapitulasi nasional di KPU. Hal ini berimplikasi hukum bagi pasangan Prabowo-Hatta yang secara terbuka menarik diri dalam proses pilpres yang sedang berlangsung.

Sebagaimana diketahui, 22 Juli lalu, tidak lama setelah KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu presiden, Prabowo selaku calon presiden nomor urut satu menyatakan menarik diri dari proses pemilu presiden 2014. Prabowo menuding pemilu presiden 2014 sarat dengan kecurangan sehingga dia memutuskan menarik diri. Setelah kejadian itu, banyak kalangan memperdebatkan apakah penarikan diri Prabowo-Hatta sama dengan mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008.

“Ini secara otomatis pasangan Prabowo-Hatta sebagai subjek hukum sudah tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan perselisihan hasil pilpres ini. Karenanya, MK tidak berwenang lagi untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Pilpres 2014 ini,” kata Ketua Tim Hukum Jokowi-JK, Sirra Prayuna.  

Menurut Sirra, permohonan Prabowo-Hatta juga melanggar Peraturan MK No. 4 Tahun 2014 lantaran tidak memenuhi syarat formil. Soalnya, dalam uraian permohonan dan perbaikan permohonan tidak jelas menyebutkan TPS mana saja terjadi kesalahan penghitungan suara secara TSM yang merugikan perolehan suara pemohon.

Tudingan adanya pengkondisian hasil penghitungan suara oleh KPPS/PPS dan aparat pemerintah di sejumlah provinsi sangat mengada-ngada dan tak berdasar. Faktanya, saat penghitungan suara pemohon tidak mengajukan keberatan di tingkat TPS/PPS/PPK hingga KPU kabupaten/kota. Pemohon baru mengajukan keberatan saat pleno penghitungan suara di tingkat provinsi.

“Adanya mobilisasi penambahan daftar pemilih khusus tambahan (DPKtb) di 4 provinsi pun tidak dapat dipastikan menguntungkan pasangan tertentu karena penghitungan suara dilakukan secara rahasia,” kata Sirra. “Tudingan indikasi politik uang di beberapa kabupaten juga dalil yang tidak benar dan menyesatkan.”  

“Pemohon tidak mengurai secara jelas dan rinci siapa yang melakukan pelanggaran, dimana saja, bentuk pelanggarannya. Dengan begitu, permohonan ini harus dinyatakan ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima,” harapnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Chudry Sitompul mengatakan tindakan mempersoalkan legal standing pemohon dalam perkara PHPU adalah langkah yang salah kaprah. Chudry menegaskan bahwa perkara PHPU berbeda dengan perkara pengujian undang-undang yang juga menjadi bagian dari kewenangan MK.

“Dalam PUU, legal standing pemohon memang penting karena pemohon harus menjelaskan kerugian konstitusional yang disebabkan oleh pasal-pasal dalam undang-undang yang diuji,” kata Chudry di Jakarta, Jumat (8/8).

Dalam perkara PHPU, kata Chudry, aturannya sudah jelas bahwa pemohon adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dia merujuk pada Pasal 2 ayat (1), Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang lengkapnya berbunyi “Pemohon dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden”.

“Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kan jelas, mereka pasangan capres-cawapres. Jadi, mereka memenuhi kriteria sebagai pemohon PHPU,” ujarnya.

Chudry menambahkan pihak-pihak yang mempersoalkan legal standing Prabowo-Hatta dengan mengaitkan peristiwa penarikan diri yang disampaikan kubu Prabowo-Hatta tidak lama setelah KPU mengeluarkan penetapan hasil pemilu presiden, juga tidak memiliki dasar argumen yang kuat. Menurut dia, pernyataan penarikan diri itu adalah sikap politik kubu Prabowo-Hatta yang diselimuti emosi lantaran merasa dicurangi.

Sikap politik seperti itu, jangan dicampuradukkan dengan proses hukum sengketa pilpres di MK. Chudry berpendapat penarikan diri Prabowo-Hatta tidak sama dengan pengunduran diri sebagaimana diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Tetapi kalaupun diartikan sebagai pengunduran diri, Chudry tidak ada aturan yang melarang capres yang mengundurkan diri menjadi pemohon PHPU.

“Lagipula, setelah pernyataan penarikan diri, di media-media Ketua KPU tidak menyatakan Prabowo-Hatta mengundurkan diri, dan faktanya KPU tidak mempersoalkan langkah Prabowo-Hatta daftar PHPU,” paparnya.

Chudry berpendapat sidang PHPU seharusnya tidak berkutat pada hal-hal yang bersifat formil. Yang seharusnya diperdebatkan adalah apakah benar terjadi kecurangan, apa bukti-buktinya, dan seterusnya. Menurut Chudry, langkah Prabowo-Hatta membawa sengketa pilpres harus dihormati, bukan justru dihalangi.

“Kita justru harusnya bersyukur dengan adanya perkara ini, nanti jadi preseden yang baik agar penyelenggaraan pemilu dapat terlaksana lebih baik lagi, jujur dan adil,” pungkas Chudry.
Tags:

Berita Terkait