KADI Minta Makna Diskriminasi Diperluas
Berita

KADI Minta Makna Diskriminasi Diperluas

RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis justru dinilai diskriminatif, karena tidak mengakomodir kaum marginal lain.

Oleh:
CRM
Bacaan 2 Menit
KADI Minta Makna Diskriminasi Diperluas
Hukumonline

 

Ketua Arus Pelangi, Rido Triawan mencontohkan saat ini negara tidak memberi kesempatan bagi waria untuk memasuki pekerjaan di sektor formal. Sedangkan ketika mereka (waria) memasuki sektor informal, pemerintah tidak memberikan perlindungan hukum, jelasnya.

 

Kita tidak menolak RUU itu, tapi kita minta agar definisi diskriminasinya diperluas, terang Febiyonesta, pengacara publik LBH Jakarta. Menurutnya, seharusnya pemerintah tidak tergesa-gesa mensahkan RUU ini.

 

Ia menerangkan sesungguhnya RUU ini merupakan mandat dari ratifikasi Konvensi Penghapusan Dikriminasi Ras dan etnis. Namun demikian, masalah anti diskriminasi ini juga diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik. Karena itu definisi diskriminasi juga harus mencakup hal-hal yang diatur dalam kovenan itu, katanya saat dihubungi melalui telpon genggam.

 

Kovenan Hak Sipil dan Politik

Pasal 2  ayat (1): Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

Pasal 3: Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.

Pasal 14 ayat (1): Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan.

Pasal 25 huruf a :  Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk  Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan.

Pasal 26: Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.

 

Masalahnya, draft itu sudah final di DPR. Pada 20 Juli harus sudah diundangkan, terang Mayong. Mengingat RUU ini merupakan usulan DPR, maka pengesahannya harus mendapat persetujuan pemerintah. Karena itu pemerintah memiliki posisi tawar yang kuat, tambah Rido.

 

Untuk itulah KADI meminta pemerintah melalui Dirjen PP agar mendorong perluasan cakupan dalam RUU tersebut. Jika draft itu tidak memperluas definisi diskriminasi pemerintah melempar kembali RUU tersebut ke DPR, tegas Mayong.

 

Menanggapi permintaan itu, Abdul Wahid, menuturkan masih ada peluang untuk memperluas makna diskriminasi dalam RUU tersebut. Sayangnya, ia tidak berani berkomitmen untuk mendorong perubahan tersebut di DPR. Tapi RUU itu kan sedang dibahas DPR, yah kita tunggu saja, terangnya. .

 

Ditemui usai pertemuan, Rido menyatakan kecewa atas tanggapan Abdul Wahid. Kalau begitu artinya pemerintah hanya mengikuti DPR ? tukasnya.

Saat ini Dewan perwakilan Rakyat tengah membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU DRE). Calon undang-undang itu melarang penyebaran atau penghasutan untuk membenci ras atau etnis tertentu.

 

Tidak puas dengan materi RUU tersebut Komite Anti Diskriminasi (KADI) menyambangi Abdul Wahid Masru, Dirjen Peraturan Perundang-undangan (PP), Jum'at, (15/6). Koalisi ini terdiri dari Arus Pelangi, Wahid Institute, Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

 

Dalam siaran persnya, KADI menilai draft RUU itu justru sarat dengan diskriminasi. Pasalnya, tidak mengakomodir bentuk diskriminasi terhadap kelompok marginal lain, antara lain kaum penyandang cacat (disabled), LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) dan eks tahanan politik.

 

KADI menilai hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa diskriminasi tidak terbatas pada etnis dan ras.

 

UU No. 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia

Pasal 1 ayat (3)

 

Dirkriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pemberdaan manusia atas dasar agama, suku ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehdupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: