Kado Menteri Yasonna untuk Birokrasi Indonesia
Resensi Buku:

Kado Menteri Yasonna untuk Birokrasi Indonesia

Sebuah buku yang ditulis Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Contoh-contoh baik pengelolaan birokrasi digital perlu direplikasi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Buku Birokrasi Digital karya Yasonna H. Laoly. Foto: MYS
Buku Birokrasi Digital karya Yasonna H. Laoly. Foto: MYS

Zaman begitu cepat berubah seiring perkembangan teknologi informasi. Era disrupsi dikenal sebagai era yang begitu cepat mengubah wajah layanan publik, era yang melahirkan musuh-musuh tak terlihat. Masyarakat mendapat informasi dari banyak sumber; maka ketika akses informasi dari birokrasi pemerintahan tersumbat, bisa jadi warga sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari sumber lain.

Demikianlah layanan birokrasi juga ikut tergerus oleh disrupsi. Birokrasi digital sudah menjadi kebutuhan. Maka, tidak mengherankan jika pembentuk undang-undang sudah mewanti-wanti ekses perkembangan itu ke dalam administrasi pemerintah, misalnya dalam tata naskah dinas. Buktinya, lihat saja pengakuan atas keputusan berbasis elektronik dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. (Untuk telaah tentang disruptive bureaucracy, bisa membaca buku Rhenald Kasasi, Disruption, cetakan Agustus 2019).

Ketika Presiden Joko Widodo memerintah Indonesia, slogan Revolusi Mental bergema. Para anggota kabinetnya menyemai benih-benih revolusi mental itu ke dalam wilayah tugasnya masing-masing. Tak terkecuali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly. Bagi Yasonna, birokrasi digital tak lain adalah revolusi mental. Revolusi ini tak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan, tetapi juga konsekuensi turunannya dalam bentuk perubahan kebiasaan (moralitas) dan perwujudan karakter yang menyatukan pikiran, sikap dan tindakan. Reformasi birokrasi adalah revolusi mental itu sendiri.

(Baca juga: Disrupsi Teknologi Jadi Tantangan Hukum Baru Bagi Industri Distribusi).

Dalam buku terbarunya, Birokrasi Digital (September 2019), Yasonna memaparkan beragam argumentasi dan dalil tentang pentingnya melakukan reformasi birokrasi sebagai perwujudan revolusi mental. Ini penting dilakukan lantaran birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang tak mungkin terelakkan. Melalui pelayanan publik, birokrasi bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Birokrasi, karena itu, dapat menjadi indikator menilai performa pemerintahan kepada rakyatnya. Lambat laun, penilaian itu berimbas pada kepercayaan publik terhadap pemerintah (hal. 6-7).

Dalam buku ini pembaca akan mendapatkan uraian bagaimana Yasonna melihat pentingnya menerima dan menjalankan birokrasi digital dalam pelayanan publik. Urgensi itu tak melulu dilihat dalam kacamata teori, tetapi juga berdasarkan pengalamannya sebagai Menteri Hukum dan HAM 2014-2019, dan kini kembali dipercaya menduduki kursi yang sama.

Hukumonline.com

Secara teori, sudah banyak penelitian yang memperlihatkan wajah birokrasi Indonesia. Karl D. Jackson menyebut birokrasi Indonesia mengikuti model bureaucratic polity, yakni lebih menekankan pada peran-peran pemegang kekuasaan, dan menyingkirkan peran masyarakat sipil di pemerintahan. Hans-Dieter Evers (1990) melihatnya sebagai birokrasi Indonesia berproses ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson menggambarkan wajah birokrasi yang memperbesar sosok kuantitatif. Lihatlah jumlah pegawai negeri sipil Indonesia yang terus menggemukkan diri. Birokrasi ala Orwel memperlihatkan model perluasan kekuasaan pemerintahan untuk mengontrol berbagai lini kehidupan masyarakat, terkadang dengan cara paksaan sekalipun.

(Baca juga: Ombudsman: Kepatuhan Rendah, Maladministrasi Tinggi).

Dari sisi kultural, Yasonna menulis, birokrasi Indonesia juga bersifat patrimonial. Ini ditandai pandangan bahwa jabatan dianggap sebagai sumber kekayaan dab keuntungan . Para pejabat disaring berdasarkan kriteria pribadi. Setiap tindakan diarahkan pada relasi pribadi dan politik. Para pejabat saling berkelindan untuk mengontrol fungsi politik dan fungsi administrasi (hal. 94). Dalam konteks ini, Yasonna melihat pengembangan birokrasi digital berkorelasi dengan upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Ia menyebut sumber penyakit birokrasi Indonesia dapat didentifikasi pada dua lokus, yaitu internal dan eksternal. Lokus internal adalah perilaku korup birokrasi Indonesia, ditambah minimnya pengawasan. “Sistem pengawasan atasan bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama,” begitu Yasonna menulis dalam bukunya (hal. 172).

Tags:

Berita Terkait