Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia
Wawancara

Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia

Indonesia perlu memperkaya gagasan dan metode studi hukum. Semangat keterbukaan sebenarnya telah ditanamkan sejak pendirian Rechtshogeschool.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Bagaimana pendapat Anda tentang kehadiran metode socio-legal dalam perkembangan studi hukum?

Semestinya tidak ada masalah. Dalam arti metode normatif atau doktrin tetap kita butuhkan. Tetapi untuk mempelajari sejauh mana hukum bermanfaat, bagaimana hubungan antara hukum dan masyarakat, apa yang terjadi di masyarakat untuk pemerintah coba mempengaruhinya dengan hukum, itu memang membutuhkan metode yang lain. Saya kira salah satu alasan muncul perdebatan panas soal penerimaan metode socio-legal adalah cara mempelajari hukum di Indonesia masih cukup miskin.

 

Padahal di Indonesia sekarang ini sudah banyak bahan-bahan yang biasa juga ditemukan di negara-negara lain. Misalnya yurisprudensi atau risalah pembentukan undang-undang, tapi itu sama sekali tidak dipakai. Satu-satunya sumber yang dipakai hanya peraturan perundang-undangan terutama undang-undang.

 

Baca:

 

Banyak ahli hukum Indonesia sangat setia hanya menggunakan undang-undang saja. Mereka berdalih sedang konsisten mengikuti sistem civil law dari Belanda sebagai patron sistem hukum Indonesia. Apa pendapat Anda?

Justru di tahun pertama kemerdekaan dan juga zaman Hindia Belanda itu para pakar hukum menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum. Mereka juga menggunakan risalah pembentukan undang-undang, dan mereka juga menggunakan kebiasaan adat.  Yurisprudensi itu barangkali secara teoretis tidak mengikat, jadi tidak ada stare decisis (preseden-red.). Walaupun begitu pasti hakim-hakim dulu itu akan mengikuti putusan Mahkamah Agung.

 

Mungkin karena dulu kekurangan bahan-bahan jadi banyak putusan Mahkamah Agung yang tidak dipublikasikan. Terjadi kemiskinan bahan sumber hukum dari putusan-putusan pengadilan di Indonesia pada tahun 50-an dan masa demokrasi terpimpin Orde Lama. Lalu sesudah itu pun keadaannya diperburuk oleh hakim-hakim yang ditunjuk Soeharto. Misalnya di pimpinan Mahkamah Agung itu ada orang Soeharto yang membuat sumber hukum “terkorupsi”. Saya masih ingat penjelasan dalam buku Sebastian Pompe soal itu (The Indonesia Supreme Court : A Study of Institusional Collapse-red.).

 

Saya juga dengar dari mantan hakim agung bahwa memang kondisinya seperti itu. Misalnya saat ada diskusi di antara para hakim kala itu soal putusan mana saja yang mau dipakai sebagai yurisprudensi. Di Mahkamah Agung masa Pak Ali Said (Jenderal TNI AD yang pernah diangkat sebagai Jaksa Agung, Menteri Hukum, dan Ketua Mahkamah Agung di masa Orde Baru-red.)tidak mendukung. Akhirnya hanya beberapa putusan saja yang dipublikasi. Seharusnya bisa jauh lebih banyak yang dipublikasi. Seharusnya semua itu bisa memberi arahan untuk perkembangan hukum selanjutnya.

Tags:

Berita Terkait