Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia
Wawancara

Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia

Indonesia perlu memperkaya gagasan dan metode studi hukum. Semangat keterbukaan sebenarnya telah ditanamkan sejak pendirian Rechtshogeschool.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Di Belanda menerapkanseperti itu. Bahkan sekarang ini socio-legal mendapat perhatian lebih di berbagai universitas di Belanda, seperti kami sekarang ini di Van Vollenhoven Institute, Universiteit Leiden. Tahun depan kami akan mulai membuka program Master of Law and Society.

 

Ada salah satu Hakim Agung Belanda di komisi akreditasi yang bilang bahwa untuk hakim lebih perlu melanjutkan studi socio-legal di program itu. Lebih cocok, karena hakim harus mengerti masyarakat untuk bisa menyelesaikan kasus dengan baik. Socio-legal itu buat saya sebagai istilah payung untuk berbagai studi yang sudah dikenal sejak dulu seperti sosiologi hukum dan antropologi hukum.

 

Saya ingin menekankan bahwa studi socio-legal tidak bisa menggantikan studi hukum lewat doktrin. Tetapi studi hukum lewat doktrin harus diperkaya dengan menggunakan berbagai sumber lain. Termasuk metode interpretasi yang tidak hanya gramatikal tapi juga teleologis, historis, atau sistematis.

 

Banyak orang di Indonesia yang membela studi hukum lewat doktrin dengan tuduhan bahwa studi socio-legal ingin menggantikan sepenuhnya metode tersebut. Itu tidak benar. Saya juga sangat tidak mendukung jika demikian. Nah, kita membutuhkan keduanya saling melengkapi dalam metode studi hukum. Akar masalah studi hukum di Indonesia adalah kemiskinan metode interpretasi hukum dan penggunaan sumber-sumber hukum.

 

Namun, saya lihat sudah ada perkembangan yang bagus di Indonesia. Sekarang ada yurisprudensi yang dipublikasikan dan ada risalah yang bisa diakses meski belum terbiasa dimanfaatkan. Setidaknya sudah terlihat perubahan. Secara umum kondisi hukum di Indonesia sekarang ini jauh lebih baik dari zaman Soeharto.

 

Pandangan generasi muda Indonesia pada umumnya pun lebih luas. Ada banyak yang ingin mempelajari hukum dengan kaca mata socio-legal, tidak hanya yang formalistis seperti dulu. Sangat penting bahwa ada banyak mahasiswa yang pergi ke luar negeri lalu mereka membandingkan bagaimana hukum dipelajari di Australia, Belanda, Amerika, Inggris atau di mana saja. Saya kira itu penting sekali dan hasilnya sudah bisa kita lihat.

 

Hukumonline.com

 

Bagaimana model pendidikan hukum yang ideal untuk menghadapi dinamika global terkini?

Saya kira yang paling penting untuk tantangan jangka pendek adalah mempelajari yurisprudensi, risalah, dan berbagai sumber hukum yang sekarang diabaikan itu. Kedua, penemuan hukum seharusnya jauh lebih ditekankan. Tidak hanya dalam perkuliahan tapi juga pada evaluasi saat ujian. Berbagai kitab undang-undang bebas dibuka saat ujian, tetapi harus bisa menemukan hukum. Kemampuan legal reasoning itu sangat penting. Ketiga, seperti kata Hakim Agung di Belanda tadi, saya kira studi socio-legal dan filsafat hukum itu sangat penting.

 

Para sarjana hukum tidak akan sekadar pakai ‘kaca mata kuda’. Mereka akan benar-benar menjadi orang yang punya wawasan luas untuk menerapkan hukum. Bisa mengerti hakikat masalah hukum seperti apa yang terjadi. Jika menjadi hakim, sadar bahwa putusan mereka itu sangat berdampak kepada para pihak atau kepada kelompok orang lainnya.

 

Bagaimana penilaian Anda untuk perkembangan hukum Indonesia?

Menurut saya sebetulnya sistem hukum Indonesia sudah khas sejak awal. Pluralisme hukum di sini jauh lebih luas dibandingkan Belanda. Berakar dengan hukum adat dan hukum agama yang ada. Memang ada juga hukum peninggalan Belanda tetapi banyak hukum baru, produk undang-undang baru yang diciptakan. Dulu ada banyak kesamaan. Perkembangan hukum di Indonesia sangat terlihat.

 

Namun dalam peran Dewan Perwakilan Rakyat membuat undang-undang, di Belanda itu jauh lebih detail. Sementara itu di Indonesia seringkali lebih banyak diserahkan kepada Peraturan Pemerintah. Menurut saya seharusnya kejelasan arahan undang-undang itu lebih banyak diselesaikan Dewan Perwakilan Rakyat. Nah, ada satu hal lain yang berhubungan dengan itu. Kalau ada undang-undang baru di Belanda, pasti sudah ada dana untuk melaksanakannya. Itu sekarang sering tidak terjadi di Indonesia ya. Hehehe Seperti tidak dipikirkan sebelumnya.

 

Saya pernah mewawancarai Pak Erman Rajagukguk (Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia-red.) soal pengadilan hubungan industrial. Jadi ada orang yang bilang terjadi konspirasi soal pengadilan hubungan industrial yang tidak segera dilaksanakan. Kata Pak Erman ternyata memang itu tidak ada dananya. Bahkan keadaan begitu sudah biasa katanya. Proses itu kadang membuat banyak undang-undang di Indonesia sulit dilaksanakan. Biayanya tidak ada.

 

Hal lainnya adalah ego sektoralisme. Tentu saja itu juga terjadi di Belanda dan berbagai negara tapi tampak lebih rumit di Indonesia. Ego sektoralisme itu maksudnya bahwa tiap departemen mempunyai aturan-aturan sendiri, peraturan menteri, atau peraturan pelaksanaan yang umumnya mereka saling tidak peduli peraturan dari departemen lain.

 

Misalnya menyelesaikan masalah antara pertambangan dengan kehutanan yang masih kurang efektif. Hakim di pengadilan pun tidak berbuat banyak. Katakanlah Mahkamah Konstitusi sebagai kemajuan dalam harmonisasi antara undang-undang dengan konstitusi. Sayangnya di bidang peraturan-peraturan tadi belum terlihat Mahkamah Agung bisa berperan seperti itu. Menurut saya itu masalah besar ya.

 

Masalah selanjutnya adalah cara untuk mempelajari hukum di universitas dan penemuan hukum yang hanya menggunakan metode gramatikal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, jarang menggunakan metode lain seperti penafsiran historis atau penafsiran sistematis. Padahal penafsiran sistematis itu sangat penting untuk menjaga keutuhan sistem dan konsistensi hukum. Lalu penafsiran teleologis pun tidak dilaksanakan. Hampir saja metode gramatikal itu membuat sumber hukum di Indonesia terasa kering. Mudah-mudahan akan lebih baik lagi di masa depan.

 

Tidak ada fakta bahwa kemiskinan metode itu disebabkan pengaruh peninggalan Belanda. Faktanya tidak seperti itu. Kalau semua yang belajar hukum di Belanda berbagi pengalaman mereka pasti tidak begitu ceritanya. Ya barangkali pernah terjadi di abad ke-19. Paul Scholten yang dikenal sebagai tokoh perintis hukum Belanda di Indonesia pun sangat menekankan berbagai metode-metode untuk penemuan hukum. Teleologis, historis, semua metode yang diterima oleh kalangan kampus hukum, hakim, akademisi, pakar, yuris, semuanya menggunakan itu.

 

Dulu sekali di Belanda ada perdebatan soal metode apa saja yang bisa diterima untuk studi hukum. Namun sejak tahun 1918 itu sudah selesai. Hukum memang ilmu yang khas, tapi menerima sumber-sumber rujukan berbeda beda itu bisa saja. Kadang hakim harus tahu mengenai hasil studi sosiologis atau psikologis untuk bisa mengerti aturan hukum. Sejak tahun 1918 di Belanda sudah bisa menerima kenyataan itu termasuk Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda-red.)

 

Tahun 1918 itu bahkan masih zaman kolonial. Harusnya berpengaruh juga ke Hindia-Belanda karena ada sistem konkordansi. Hakim yang belajar pada generasi pertama seperti Mr.Besar, Djojodiguno, Kusumaatdmaja, Soepomo, semuanya pasti mengajarkan itu juga.

 

Baca:

 

Apa saran Anda untuk pengembangan hukum Indonesia yang banyak dipengaruhi pola dari hukum Belanda itu?

Menurut saya seharusnya ada penerjemahan resmi dari kitab-kitab undang-undang terjemahan Bahasa Belanda yang masih berlaku. Terjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia sebaik mungkin lalu menjadi versi resmi. Nah kemudian kalau mau ada perubahan jangan mengubah semuanya, cukup pasal demi pasal.

 

Pengubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu prosesnya sudah gagal sekian kali karena itu memang sulit sekali. Saya sangat mendorong itu dilakukan dengan metode yang incremental, step by step kadang juga bisa berjalan baik. Saya kira dengan begitu untuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pidana bisa jauh lebih efektif, pun untuk Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Aturan yang tidak cocok lagi dengan zaman bisa dihapus. Misalnya oleh Mahkamah Konstitusi. Semestinya Dewan Perwakilan Rakyat juga melakukan itu. Mereka sudah lakukan juga kan untuk undang-undang lain misalnya undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah beberapa kali diubah pasalnya.

 

Apakah menurut Anda jadi sebuah masalah jika tidak ada terjemahan resmi dari kitab-kitab undang-undang terjemahan Bahasa Belanda yang masih berlaku?

Itu menjadi masalah. Terminologi yang dipakai di putusan-putusan hakim jadi berbeda. Akhirnya tidak bisa menjadi acuan atau tidak bisa memberikan konsistensi. Misalnya, kalau ada satu hakim yang lulusan Universitas Airlangga menggunakan istilah ‘melawan hukum’ sedangkan yang lulus dari Universitas Indonesia sebut ‘melanggar hukum’ pada akhirnya itu bikin masalah.

 

Seharusnya konsistensi terjadi pada tingkat bahasa juga. Sayangnya itu belum dijalankan saat ini karena memang tidak terjadi penyeragaman penggunaan istilah-istilah itu. Kawan saya Ab Massier menulis buku mengenai itu dan menyarankan untuk membuat terjemahan resmi.

 

Bagaimana pengalaman Belanda menyerap berbagai konsep atau terminologi dari sistem hukum negara lain? Terutama jika dari sistem common law.

Bagi Belanda tidak penting lagi membahas common law atau civil law. Kami melihat pada aturan baru apa yang dibutuhkan. Tidak masalah jika Belanda menggunakan contoh dari Jerman, Inggris, Amerika, Perancis, atau Italia misalnya. Persoalan yang akan dibahas hanya apakah aturan itu cocok atau tidak dengan sistem lembaga yang ada di Belanda. Misalnya di Inggris ada satu aturan yang clear dan bagus, tapi referensinya kepada lembaga yang tidak ada di Belanda, tentu tidak masuk akal jika dicontoh begitu saja.

 

Jadi misalnya ada ide di Inggris untuk melindungi anak, lalu mereka punya lembaga khusus untuk itu, ternyata yang seperti itu tidak ada di Belanda ya harus dipertimbangkan. Bisa dibentuk lembaga serupa atau barangkali ada lembaga lain yang sudah ada bisa melaksanakan itu. Itu diamati dengan cermat dan biasanya dilakukan pakar hukum dari bidang socio-legal. Mereka menilai apakah yang akan dicontoh itu bisa efektif dalam konteks belanda. Saat ini common law dan civil law  semakin mendekat, ada perbedaan dalam beberapa istilah dasar tapi kesimpulan akhirnya sangat mirip.

Tags:

Berita Terkait