Kalangan Perbankan Tolak Usulan Dirjen Pajak
Berita

Kalangan Perbankan Tolak Usulan Dirjen Pajak

Jakarta, hukumonline. Usulan Direktur Jenderal Pajak Machfud Sidik yang menghendaki adanya revisi atas perubahan Pasal 41 Undang-undang (UU) Perbankan ditolak kalangan perbankan. Usulan perubahan tersebut menuntut adanya pengecualian yang lebih longgar atas kerahasiaan bank bagi kepentingan pemeriksaan pajak oleh petugas pajak (fiscus).

Oleh:
Ari/Bam
Bacaan 2 Menit
Kalangan Perbankan Tolak Usulan Dirjen Pajak
Hukumonline

Penolakan tersebut di antaranya datang dari Ketua Perbanas, Gunarni Sworo, dan pengamat perbankan I Nyoman Moena. Keduanya berpendapat, revisi atas ketentuan Pasal 41 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tidak perlu dilakukan. Sementara Machfud menyatakan perubahan itu perlu dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Menurut Gunarni, Pasal 41 UU Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 itu sudah secara tepat mengatur kerahasiaan bank. "Di mana-mana, di setiap negara, pasti ada yang namanya bank secrecy act yang dimaksudkan untuk mem-protect bank itu sendiri dan mem-protect nasabahnya," ungkap Gunarni mengemukakan penolakannya.

Namun demikian Gunarni mengakui, ada hal-hal di mana pemerintah dalam menangani suatu perkara dapat meminta informasi yang dirahasiakan oleh bank, selama proses untuk mendapatkannya sesuai dengan UU. Pada kondisi itu, bank boleh men-disclose informasi yang dibutuhkan itu.

Kerahasiaan bank, menurut Gunarni, tetap merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dibuka begitu saja. Hal tersebut   dimaksudkan  untuk   tersebut menjamin confident level dari para deposan.

Apabila kemudian terdapat indikasi adanya hal-hal yang tidak benar dalam pemberian data kekayaan seseorang berkaitan dengan kewajiban pajaknya, ada suatu proses yang dapat ditempuh oleh petugas pajak. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dapat dengan surat dari Menteri Keuangan dan melalui izin Bank Indonesia (BI).

Jadi, menurutnya, kerahasiaan bank bukan menjadi tabu sama sekali untuk dibuka. Hanya saja, hal itu dilakukan untuk keperluan tertentu yang mendesak dan benar-benar perlu. Dengan demikian, tambah Gunarni, UU No. 10 tahun 1998, khususnya ketentuan perubahan Pasal 41 UU Nomor 7 Tahun 1992, tidak perlu diubah.

Tidak perlu diperlonggar

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat perbankan I Nyoman Moena.  Moena mengatakan kerahasiaan bank tidak perlu diperlonggar lagi, meskipun untuk kepentingan pemeriksaan pajak oleh fiscus. Ia berpendapat, kalau memang akan memeriksa dan membutuhkan informasi dari bank tentang rekening seorang wajib pajak, fiscus dapat melakukan prosedur permohonan melalui BI.

Tags: