Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja
Omnibus Law:

Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja

Persoalan cara penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi perhatian dalam pembahasan di DPR. Atau menarik kembali draft RUU Cipta Kerja untuk diperbaiki terutama dari sisi prosedur penyusunan.

Oleh:
Rofiq Hidayat/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Ysf
Ilustrasi: Ysf

Sejak pemerintah menyerahkan naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja ke DPR, RUU ini terus mengundang perbincangan publik baik prosedur penyusunannya maupun materi muatannya. Tak jarang, RUU Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law (penyederhaan regulasi) ini menuai kritik dan masukan berbagai kalangan, mulai organisasi serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, hingga kalangan akademisi.

 

Tak sedikit pula, beberapa kalangan mendukung keberadaan RUU Cipta Kerja. Selain pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dianggap salah satu pintu masuk reformasi regulasi untuk mengatasi kondisi obesitas/hiper regulasi, juga demi meningkat kemudahan berusaha dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang berujung pada penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai sektor.

 

Secara hukum formal, bagi kalangan yang mengkritik, RUU Cipta Kerja dianggap tak sesuai pakem atau prosedur penyusunan peraturan dan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak heran, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menuding RUU Cipta Kerja cacat formil dan ada upaya penyelundupan hukum oleh pemerintah. Bahkan, dia menyebut penyusunan Omnibus Law, salah satunya RUU Cipta Kerja, tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

 

RUU Omnibus Law Cipta Kerja cacat formil dan terdapat upaya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Ini berdampak ke banyak orang, khusus berkaitan dengan buruh kalau dicek itu banyak sekali, yang dilibatkan pengusaha,” ujar Arif Maulana dalam sebuah diskusi di Fakultas Hukum UI Depok, Kamis (20/2/2020) lalu. Baca Juga: Semrawut Wajah Penyusunan RUU Cipta Kerja  

 

Alasannya, UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengenal istilah omnibus law, penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus mengubah/menghapus beberapa pasal dalam berbagai UU lain. Namun, pemerintah berdalih penyusunan RUU dengan metode omnibus law, dalam praktik ketatanegaraan pernah dilakukan (konvensi), seperti  UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Lantas, benarkah ada cacat formil dan penyelundupan hukum dalam RUU Cipta Kerja?

 

Memang beberapa kalangan menilai penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tak memenuhi prosedur penyusunan peraturan seperti digariskan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memandang penyusunan RUU Cipta Kerja sebuah langkah mundur reformasi regulasi dengan beberapa indikator. 

 

Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas pembentukan perundang-undangan yakni asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. Misalnya, asas kejelasan rumusan dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama, sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya. Baca Juga: PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait