Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja
Omnibus Law:

Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja

Persoalan cara penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi perhatian dalam pembahasan di DPR. Atau menarik kembali draft RUU Cipta Kerja untuk diperbaiki terutama dari sisi prosedur penyusunan.

Oleh:
Rofiq Hidayat/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Hal ini disampaikan Redi menjawab sejumlah klarifikasi pihak pemerintah tentang adanya kemungkinan kesalahan ketik ketika merumuskan bunyi Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Redi melanjutkan saat itu anggota tim perumus berpikir bagaimana memberi kewenangan lebih kepada presiden mewujudkan kelancaran iklim berusaha dan investasi di Indonesia. “Kita (tim perumus berpikir) butuh presiden (bisa) melakukan ‘akrobatik’ kebijakan untuk peningkatan investasi,” terang Redi.

 

Menurut Redi, karena alasan tersebut, kemudian Pasal 170 dirumuskan. Ia menggambarkan bagaimana perdebatan seru yang terjadi saat perumusan pasal ini. Redi mengklaim dirinya termasuk orang yang tidak menyepakati rumusan pasal tersebut. Menurut Redi, ketentuan yang mengatur Perpres dapat mengubah UU tidaklah dimungkinkan. “PP ‘haram’ hukumnya mengotak-atik atau mengubah UU,” tegasnya.

 

Penyusunannya kacau

Sementara Mantan Hakim Konstitusi Prof Maria Farida Indrati menegaskan Omnibus Law biasa diterapkan di negara yang menganut sistem hukum Common Law. Sementara Indonesia adalah negara yang menganut sistem Civil Law. Jika pemerintah ingin menelurkan UU Omnibus Law, Maria menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. 

 

Misalnya, ada pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat; diperlukan sosialisasi yang luas, terutama bagi pejabat dan pihak terkait, kalangan profesi hukum, dan akademisi; pembahasan di DPR yang transparan dengan memperhatikan masukan pihak-pihak yang terkait/terdampak dengan isi RUU, tidak tergesa-gesa pembahasannya, mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU tersebut; dan mempertimbangkan status keberlakuan sejumlah UU yang terdampak selanjutnya.

 

“Ini harus kita kaji bersama, jangan sampai jadi UU compang-camping. Mau dijadikan UU bisa saja, tapi bagaimana implementasinya. Ada 1.028 pasal dan pasal-pasalnya ini kacau,” kritik Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Baca Juga: Mempertanyakan Pasal UU Terdampak dalam Omnibus Law

 

Maria Farida mengkritisi urutan pasal dalam draft RUU Cipta Kerja. Dia menilai tim perumus tidak membuat pasal secara urut, dan dalam pasal yang dinyatakan diubah tidak disertakan bunyi pasal sebelumnya. “Kalau Anda lihat dalam pasal itu, ada pasal yang diubah, tapi pasal yang lama tidak ada. Membuat UU tidak kronologis, seharusnya kronologisnya UU yang dahulu baru yang diubah. Ini ada 79 UU yang direvisi, harmonisasi, dan sinkronisasi sangat sulit. Bagaimana dengan 79 UU yang diambil sepotong-sepotong dijadikan satu. Implementasinya sangat sulit,” bebernya.

 

Selain itu, Maria Farida menyebutkan kalau selama ini pemerintah berkilah bahwa UU Omnibus Law bakal memangkas banyak aturan yang dinilai over regulated. Namun faktanya, jika nanti RUU ini disahkan menjadi UU, maka pemerintah bakal menerbitkan sekitar 493 Peraturan Pemerintah (PP). “Dan (penyusunan, red) 493 PP itu bukan barang mudah,” katanya.

 

Hukumonline.com

 

Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Trisakti Tri Sulistyowati menilai substansi RUU Cipta Kerja tidak mudah untuk dipahami. Menurutnya, masyarakat bingung membaca RUU Cipta Kerja yang isinya memuat 79 UU dengan lebih dari 1.200 pasal terdampak.  “Masyarakat sulit membaca RUU Cipta Kerja, apalagi memahami substansinya,” kata Tri Sulistyowati dalam acara diskusi bertajuk “Omnibus Law: Perspektif Hukum, Ekonomi, & Ketenagakerjaan” di kampus A Trisakti Jakarta, Rabu (4/5/2020) lalu. 

 

Menurut Tri, selain pasal-pasalnya mencapai ribuan, substansi RUU Cipta Kerja tidak jelas arahnya karena memuat hampir seluruh sektor. Misalnya, judulnya menyebut soal cipta kerja - sebelumnya penciptaan lapangan kerja – tapi menyasar banyak hal, seperti UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Tri menilai ada persoalan dalam sistematika pembentukan RUU Cipta Kerja ini. Seharusnya, kata dia, penyusunan RUU Cipta Kerja ini mengikuti mekanisme yang diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019. Menurutnya, untuk mencabut/menghapus atau mengubah pasal-pasal dalam UU, harus dilakukan melalui penerbitan UU baru.

 

Misalnya, “UU tentang Perubahan…” atau menerbitkan UU baru yang mencabut UU lama. Namun, dia melihat RUU Cipta Kerja yang disusun melalui mekanisme omnibus law ini tidak mengikuti pakem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “UU itu dibentuk untuk masyarakat. Karena itu, masyarakat seharusnya dibuat mudah membaca dan mengerti isi UU tersebut,” pesan dia.

 

Dia mengingatkan UU dibentuk secara sistematis dan pasal-pasal yang ada di dalamnya saling berkaitan. Dalam RUU Cipta Kerja, jika satu atau beberapa pasal dalam sejumlah UU tertentu diubah atau dicabut/dihapus mempengaruhi pasal-pasal lain. Akibatnya, pasal-pasal yang dicabut, dihapus, atau diubah tersebut menjadi tidak utuh lagi. Seharusnya, hal itu (dibarengi dengan) menerbitkan UU baru yang membahas substansi yang sama.

 

“Ini nanti bagaimana bunyi judul RUU Cipta Kerja, apakah UU tentang Perubahan atau UU baru yang mencabut sejumlah UU lama? Sejak awal penyusunan, pemerintah seharusnya mengajak pemangku kepentingan dan kelompok terdampak, serta transparan dalam setiap prosesnya.”

 

Karenanya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendorong pemerintah agar draf RUU Cipta Kerja ditarik kembali untuk diperbaiki karena RUU ini banyak dikritik berbagai kalangan baik prosedur penyusunan maupun substansinya. Ini sesuai mekanisme yang diatur Pasal 70 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

“Presiden Jokowi sebaiknya menghentikan (menunda, red) proses pembahasan dan menarik kembali RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada DPR,” ujar Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, Jumat (6/3/2020) lalu.

 

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi jika RUU ini ditarik, pemerintah mesti bersungguh-sungguh memperbaiki cara penyusunan RUU ini. “Pemerintah agar menginisiasi perubahan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukum dalam penyusunan RUU yang berkarakter omnibus law,” katanya.

 

Lantas, adanya penilaian cacat formil dan penyelundupan hukum dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini nantinya bakal menjadi pokok pembahasan serius dan mendasar di DPR?

Tags:

Berita Terkait