Kasus Fatia-Haris, ICW: Rezim Pemerintah Mengedepankan Kriminalisasi Masyarakat
Terbaru

Kasus Fatia-Haris, ICW: Rezim Pemerintah Mengedepankan Kriminalisasi Masyarakat

Pasal 41 UU Pemberantasan Tipikor memandatkan masyarakat dapat berperan membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Persidangan harus berjalan secara adil, serta tak boleh ada intervensi dari pihak manapun.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Berbagai kalangan masyarakat sipil prihatin terhadap proses hukum terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan bergulir ke pengadilan. Perkara ini terkait diskusi yang diunggah di kanal youtube mengenai hasil riset terhadap operasi militer dan pertambangan di kabupaten Intan Jaya di Papua.

 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, mengatakan tindakan Fatia-Haris yang mendiskusikan hasil riset itu merupakan bagian dari partisipasi masyarakat. Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal tersebut mengatur peran serta masyarakat dalam pemberantasan Tipikor. Peran serta masyarakat itu bentuknya antara lain mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.

 

Alih-alih merespon hasil riset yang disampaikan Fatia-Haris, aparat penegak hukum justru menuding aktivis HAM itu melakukan pencemaran nama baik dan memprosesnya sampai pengadilan. “Rezim ini mengedepankan kriminalisasi bagi masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya,” kata Kurnia dalam konferensi pers, Minggu (2/4/2023) kemarin.

 

Baca juga:

 

Proses hukum itu berawal dari laporan yang dilakukan Luhut Binsar Panjaitan terhadap Fatia-Haris terkait dugaan pencemaran nama baik. Kurnia mencatat Luhut merupakan pejabat yang tidak punya malu. Ada banyak pernyataan yang disampaikan kepada publik kemudian menuai polemik. Misalnya, membuat kegaduhan karena berkomentar soal big data penundaan pemilu, mengkritik operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK karena membuat citra Indonesia jelek di ranah internasional.

 

Pernyataan terakhir yang dilontarkan Luhut yakni dia mengklaim paling mengetahui soal urusan negara dan pihak di luar pemerintahan diminta untuk tidak banyak omong. “Dibuktikan melalui perkara ini dimana masyarakat yang bersuara dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Padahal riset yang disampaikan Fatia-Haris menunjukkan ada konflik kepentingan (mengindikasikan ada potensi korupsi,-red),” ujar Kurnia.

 

Sayangnya, tidak ada langkah korektif yang dilakukan Presiden Joko Widodo terhadap anak buahnya itu di kabinet. Pernyataan dalam berbagai kesempatan itu dan laporannya terhadap Fatia-haris menurut Kurnia menunjukkan Luhut tidak paham mandat UU Pemberantasan Tipikor soal peran serta masyarakat.

Tags:

Berita Terkait