Kasus Haris-Fatia Bisa Gunakan Mekanisme Restorative Justice
Terbaru

Kasus Haris-Fatia Bisa Gunakan Mekanisme Restorative Justice

Sebagaimana diatur Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Juru BIcara Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa
Juru BIcara Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa

Penetapan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, dan pendiri Lokataru, Haris Azhar, sebagai tersangka mendapat kecaman masyarakat terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil. Kedua aktivis HAM itu ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan laporan polisi yang dilayangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Luhut Binsar Panjaitan berkaitan dengan dugaan kasus pencemaran nama baik.

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), AMAN, WALHI, Solidaritas Perempuan, Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, dan IHCS menilai penetapan tersangka itu menambah panjang daftar aktivis HAM yang dikriminalisasi.

Sekjen KPA sekaligus Juru Bicara KNPA, Dewi Kartika, mengatakan 6 tahun terakhir sedikitnya terjadi 1.587 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang menyampaikan kritik. Korban kriminalisasi itu mulai dari petani, masyarakat hukum adat, dan nelayan dalam kasus terkait agraria dan sumber daya alam.

Ditambah lagi korban intimidasi, kekerasan fisik dan hilangnya nyawa di wilayah konflik agraria. Sebagaimana diketahui Fatia dan Haris dilaporkan karena video Youtube berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”.

Baca:

Diskusi di kanal Youtube itu mengacu hasil riset relasi ekonomi dalam operasi militer berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.” Kajian tersebut disusun dan diterbitkan oleh aliansi organisasi masyarakat sipil meliputi WALHI, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, YLBHI, Greenpeace Indonesia, dan Tren Asia.

Menurut Dewi, masyarakat yang menyuarakan kritik tidak pantas dihukum baik denda atau pidana penjara. Pihak yang keberatan dengan kritik itu bisa menyampaikan hak untuk mengoreksi. Kritik itu semestinya dijawab dengan membuka data sesungguhnya dan menanggapi hasil riset tersebut.

Tags:

Berita Terkait