Kasus Meiliana, Momentum ‘Rombak’ Pasal Penodaan Agama di RKUHP
Berita

Kasus Meiliana, Momentum ‘Rombak’ Pasal Penodaan Agama di RKUHP

Karena pasal penodaan agama dalam RKUHP dinilai jauh lebih karet dan sumir ketimbang rumusan pasal penodaan agama dalam KUHP. Pembentuk UU harus mampu mencari titik keseimbangan antara kebebasan mengungkapkan kritik yang sah/pendapat dengan praktik (ibadah) keagamaan dan juga perlindungan kesakralan tafsir kehidupan beragama.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kasus Meiliana, Momentum ‘Rombak’ Pasal Penodaan Agama di RKUHP
Hukumonline

Polemik putusan Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai, Sumatera Utara - dengan terdakwa Meilina yang divonis 1,5 tahun penjara karena terbukti menodai agama terkait keberatan terdakwa atas kerasnya suara adzan yang berujung pembakaran dan pengrusakan Wihara dan Klenteng di wilayah tempat tinggalnya - terus menjadi perbincangan publik. Kasus ini dinilai tidak terlepas dari penerapan Pasal 156a KUHP yang mengakibatkan mudahnya kriminalisasi ekspresi individual yang terjadi di masyarakat.

 

“PSHK berposisi bahwa pangkal permasalahan dari kriminalisasi terhadap kaum minoritas ini berpangkal dari keberadaan Pasal 156a KUHP ini sendiri,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana di Jakarta, Senin (27/8/2018).

 

Gita menegaskan penerapan Pasal 156a KUHP selama ini bermasalah karena pasal ini bersifat karet yang dengan mudahnya aparat penegak hukum menjerat si pelaku. Ironisnya, penerapan pasal penodaan agama dalam RKUHP bakal semakin (karet) mempermudah menjerat si pelaku. Sebab, pasal penodaan agama dalam RKUHP ini akan semakin memperluas jangkauan tafsir tindak pidana penodaan agama itu.       

 

“Karena itu, pemerintah dan DPR mesti mempertimbangkan ulang terkait urgensi perluasan definisi penghinaan dalam rumusan pasal penodaan agama dalam RKUHP. Ini potensi kriminalisasi terhadap semua umat beragama yang semakin mempersempit ruang demokrasi publik,” kata dia.   

 

Menurutnya, pemerintah dan DPR harus merombak total rumusan pasal penodaan agama dalam RKUHP dengan melakukan pengetatan tafsir dan makna pasal tersebut. Disarankan, kedua lembaga pembentuk UU ini harus mampu mencari titik keseimbangan (proporsionalitas) antara kebebasan mengungkapkan kritik yang sah/pendapat dengan praktik (ibadah) keagamaan dan juga perlindungan kesakralan tafsir kehidupan beragama.  

 

“Pemerintah dan DPR mesti merumuskan ulang pasal-pasal penodaan agama dalam RKUHP dengan menggunakan argumentasi hukum yang berbasis data selama ini, sehingga unsur-unsur delik pidana dalam RKUHP merefleksikan permasalahan nyata yang terjadi di masyarakat.” Baca Juga: Ini Pesan KY Terkait Kasus Meliana

 

Mengacu draf RKUHP per Juli 2018, pengaturan tindak pidana penodaan agama diatur mulai Pasal 326 hingga Pasal 331 RKUHP. Menurut Gita, mengacu Pasal 326, 327, dan 328 RKUHP,  frasa unsur  “dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan” justru diubah dengan frasa “penghinaan terhadap agama”. Dengan begitu, definisi atau pemaknaan penghinaan semakin diperluas.

Tags:

Berita Terkait