Kasus Mutilasi 4 Warga Mimika Momentum Pemerintah Reformasi Peradilan Militer
Terbaru

Kasus Mutilasi 4 Warga Mimika Momentum Pemerintah Reformasi Peradilan Militer

Proses penegakan hukum terhadap 6 anggota TNI yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi harus dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel. Proses penegakan hukum harus dilakukan di pengadilan umum, bukan pengadilan militer.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga Mimika, Papua mendapat perhatian berbagai pihak mulai dari masyarakat sipil, parlemen, dan Presiden Joko Widodo. Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, mencatat pembunuhan itu melibatkan 6 anggota TNI yang terdiri dari satu berpangkat mayor, kapten, dan praka serta tiga lainnya berpangkat pratu. 6 anggota Brigif 20/IJK/3 Kostrad itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Puspom TNI AD.

Gufron menegaskan proses hukum terhadap 6 anggota TNI terduga pelaku pembunuhan dan mutilasi harus dijalankan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Para terduga pelaku seharusnya diadili di peradilan umum mengingat perbuatan yang dilakukannya merupakan tindak pidana.

“Proses peradilan yang objektif, transparan dan akuntabel terhadap para pelaku menjadi penting, sehingga tidak terjadi praktik impunitas sebagaimana kecenderungan yang sering terjadi dalam kasus kekerasan di Papua yang melibatkan aparat keamanan,” kata Gufron di Jakarta, Selasa (6/9/2022).

Baca Juga:

Impunitas terhadap pelaku kekerasan menurut Gufron menambah buruk situasi HAM di Papua. Selaras dengan itu perlu dilakukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan keamanan, khususnya peran militer di Papua. Apalagi informasi yang berkembang menyebut peristiwa pembunuhan dan mutilasi itu terkait adanya praktik jual-beli senjata api.

Jika informasi itu benar, Gufron mengatakan hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan sekaligus mengindikasikan lemahnya kontrol dan pengawasan secara internal terhadap aparat di lapangan. Jual-beli senjata api yang melibatkan oknum aparat bukan isu baru yang dipandang turut berkontribusi melanggengkan konflik dan kekerasan bersenjata di Papua.

Gufron mendesak Komisi I DPR harus menjalankan fungsi pengawasan yang efektif terhadap TNI. Komisi I jangan sekedar mendorong penyelesaian kasus pembunuhan dan mutilasi itu, tapi juga evaluasi dan koreksi menyeluruh pengerahan militer di Papua. “Tanpa adanya evaluasi dan koreksi yang menyeluruh, kekerasan aparat militer akan terus terjadi di Papua,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait