Kasus Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi se-Asia Pasifik
Hari Anak Nasional

Kasus Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi se-Asia Pasifik

Tingginya angka perkawinan usia anak di beberapa daerah tidak selalu dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau kemiskinan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pernikahan dini. Foto: hukumpedia.com
Ilustrasi pernikahan dini. Foto: hukumpedia.com
Perkawinan usia dini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Upaya pendewasaan usia perkawinan melalui judicial review UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mencapai kesuksesan. Pada bulan Juni 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap UU tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi mengganggap beberapa agama yang berlaku dan berbagai budaya di Indonesia mempunyai pengaturan berbeda dalam masalah usia perkawinan.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 26 tahun lalu melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.36 Tahun 1990. Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan angka 18 tahun. Sementara kategori usia anak itu, seperti tak berlaku dalam UU Perkawinan. Undang-undang perkawinan mensyaratkan perempuan menikah usia minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

“Namun, pemerintah harus terus berusaha mendorong batas usia perkawinan dengan terus menjalankan program pendidikan wajib belajar 12 tahun. Program ini cukup berhasil menurunkan prevalensi perkawinan selama tujuh dekade sebesar 7 persen,” ungkap Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia Gunilla Olsson dalam acara “Peluncuran Buku Analisis Data Perkawinan Usia Anak” di Indonesia, Rabu (20/7), di Jakarta.

Olsson mengatakan pihaknya berharap data yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai perkawinan usia anak dapat menjadi landasan pemerintah dalam merumuskan kebijakan mengenai perkawinan anak usia dini. Pasalnya, dari data BPS tersebut ditemukan bahwa sebanyak 1.000 anak perempuan menikah setiap harinya di Indonesia.

“Sebagaimana kita ketahui, kasus perkawinan usia anak di Asia Pasifik paling banyak terjadi di Indonesia. Akan tetapi, kita juga tahu tren ini dapat dibalik. Syaratnya, kita berkomitmen bersama untuk mengatasi masalah ini,” kata Olsson.

Buku mengenai analisis data perkawinan usia anak di Indonesia yang berjudul "Kemajuan Yang Tertunda" menunjukkan bahwa prevalensi perkawinan anak usia dini di Indonesia masih tinggi dan penurunannya cenderung stagnan. Menurut hasil analisis data buku tersebut, prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia mencapai 23 persen pada tahun 2015. Prevalensi tertinggi terjadi di Sulawesi Barat sebesar 34 persen, kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan sebesar 33,68 persen, Kalimantan Tengah 33,56 persen, Kalimantan Barat 32,21 persen dan Sulawesi Tengah 31,91 persen.

“Walaupun transformasi itu telah terjadi tetapi usia perkawinan usia anak masih tetap tinggi. Ada kemajuan di suatu kelompok masyarakat kita, tetapi ada semacam resistensi dan ini merupakan tantang terbesar kita,” ungkap Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik M. Sairi Hasbullah.

Tingginya angka perkawinan usia anak di beberapa daerah ini ternyata tidak selalu dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau kemiskinan. Menurut Sairi, data menunjukkan tingkat perkawinan usia anak tinggi dari tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, masih ada budaya yang menganggap perkawinan usia anak itu lumrah.

"Perkawinan usia anak bukan sekedar karena mereka tidak bisa sekolah atau status ekonomi miskin. Tapi ada suatu pola budaya resisten yang perlu dikaji secara mendalam. Masih ada beberapa tempat yang susah diubah pola budayanya," lanjutnya.

Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Shofwan menambahkan bahwa selain faktor kemiskinan dan budaya, teknologi menjadi faktor pernikahan usia anak. Ia menemukan, banyak kasus pernikahan usia anak yang dilatarbelakangi penggunaan telepon genggam. Pasalnya, penggunaan alat komunikasi itu justru marak dipakai untuk mengakses pornografi.

"Banyak kasus, pernikahan usia anak karena faktor handphone. Sebelum adanya handphone di daerah saya kasus pernikahan usia anak sangat kecil, tetapi setelah handphone menyebar terutama di kota menjadi faktor terjadinya pernikahan usia anak,” tuturnya.

BPS mencatat 23 dari 39 Kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki prevalensi perkawinan usia anak di atas 20 persen. Bahkan, di 20 kecamatan di Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan prevalensi perkawinan usia anak sebesar 50 persen atau lebih.

Deputi Bidang Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Subandi Sardjoko, mengingatkan angka perkawinan usia anak yang cukup tinggi apabila dibiarkan maka akan mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Konsekuensi yang lebih besar adalah kerugian negara. Sebab, perkawinan usia anak melahirkan kondisi tidak produktif.

"Perkawinan usia anak terjadi di pedesaan dan ekonomi yang rendah. Kalau itu jumlahnya besar, negara yang rugi karena dia tidak produktif," ujarnya.

Tags:

Berita Terkait