Keadilan Restoratif untuk Perkara Korupsi Perlu Dilakukan Hati-Hati
Terbaru

Keadilan Restoratif untuk Perkara Korupsi Perlu Dilakukan Hati-Hati

Kebijakan perampasan aset dapat dioptimalkan.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Sejak awal digagas hingga kini, ide memberlakukan restorative justice untuk perkara korupsi di bawah 50 juta rupiah terus menimbulkan pro dan kontra. Secara normatif, pengembalian kerugian negara, menurut Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, adalah dasar meringankan hukuman, bukan alasan penghapus pidana.

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menegaskan tidak semua perkara yang ditangani penyidik bisa menerapkan restorative justice. Sebaliknya, disebutkan bahwa keadilan restoratif dapat dipakai untuk perkara informasi ITE, narkoba, lalau lintas, dan tindak pidana ringan lainnya.

Kepala Satuan Tugas Direktori Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ariawan Agustriatono menyebutkan restorative justice sesungguhnya telah lama dilaksanakan pada kasus tindak pidana korupsi. “Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menerapkan restorative justice di kasus korupsi, memang tidak sama persis dengan restorative justice, namun modelnya yang diterapkan pada kasus BLBI,” ungkapnya pada talkshow Universitas Brawijaya, Sabtu (21/5).

Ariawan berpendapat restorative justice dapat dilaksanakan untuk tindak pidana korupsi namun dengan catatan menghindarkan transaksional dan pemerasan. “Dalam prakteknya tentu kita harus memilah kasus korupsi seperti apa yang akan di restorative justice-kan, tidak semua kasus akan dilakukan mekanisme restorative justice, namun ke depan harus ada mekanisme atau instrumen untuk menyelesaikan perkara secara tepat dan maksimal dan yang paling penting jangan sampai ada transaksional, itu yang paling penting,” ujarnya.

Kasubid Humas Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Andrie Setiawan, menyatakan setuju pada pandangan Ariawan. “Kejagung menentukan apakah sebuah perkara layak atau tidak layak diputuskan sebagai perkara yang di restorative justice-kan. Dalam artian restorative justice ini dipakai untuk memilih perkara itu bisa dilemparkan atau tidak. Kejagung memiliki aturan kerja yang ketat untuk mengatur restorative justice,” ungkapnya.

Andrie menambahkan apakah suatu perkara korupsi dengan nilai kerugian di bawah 50 juta rupiah dilanjutkan ke pengadilan atau tidak, diputuskan oleh Kejaksaan berdasarkan penilaian yang hati-hati. “Tidak sembarangan,” tegasnya.

Tags: