Keadilan Restoratif untuk Perkara Korupsi Perlu Dilakukan Hati-Hati
Terbaru

Keadilan Restoratif untuk Perkara Korupsi Perlu Dilakukan Hati-Hati

Kebijakan perampasan aset dapat dioptimalkan.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi keadilan restoratif. Ilustrasi: Divisi Kreatif
Ilustrasi keadilan restoratif. Ilustrasi: Divisi Kreatif

Penggunaan pendekatan restorative justice tampaknya sudah menjadi politik hukum yang diterima Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Tetapi, perlu dicatat, tidak semua tindak pidana dapat menerapkan pendekatan keadilan restoratif. Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi agar suatu perkara dapat dikualifikasi memenuhi syarat keadilan restoratif. Salah satu yang menimbulkan kontroversi adalah menerapkannya dalam perkara korupsi yang nilai kerugian negara di bawah 50 juta rupiah.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Masruchin Ruba’i, termasuk yang keberatan atas penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Alasannya, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, dan banyak menjerat pengambil keputusan di tingkat daerah. Ia khawatir apabila restorative justice diterapkan, para pelaku akan meremehkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  “Saya tidak setuju adanya restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, termasuk yang di bawah Rp50 juta. Korupsi itu extraordinary crime, data menyebutkan hampir 50% kepala daerah di Indonesia terlibat korupsi. Adanya restorative justice bagi tindak pidana korupsi nantinya pelaku akan meremehkan UU tindak pidana korupsi,” tegasnya dalam talkshow Universitas Brawijaya, Sabtu (21/5/2022).

Menurut Masruchin, restorative justice tidak dapat dianggap sebagai solusi pemulihan pengembalian uang negara karena tidak sebanding dengan mentalitas koruptor. Tidak melanjutkan perkara ke pengadilan sama saja membuka peluang atau membiarkan pelaku melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Oleh karena itu, harus ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan korupsi. “Salah satu cara untuk mengikis budaya korupsi adalah harus adanya keterbukaan, konsesi apa yang tersedia, seperti sanksi denda, harus dipecat, tidak boleh menjabat lagi dan lain-lain,” ujarnya.

Baca juga:

Sepaham dengan Masruchin, Lalola Easter perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan kesepakatan yang sama. “Pendekatan restorative justice ini belum perlu diprioritaskan untuk tindak pidana korupsi. Karena kalau tadi yang diutamakan dalam perkara korupsi itu perampasan aset dan pemulihan kerugian negara, itu sudah ada instrumen yang mengurusnya,” jelasnya.

Apabila kasus kerugian yang nominalnya di bawah Rp50 juta ke bawah menjadi landasan menerapkan restorative justice bagi tindak pidana korupsi maka kebijakan itu harus dilakukan secara hati-hati. “Jika hal tersebut menjadi landasan restorative justice, maka terlapor secara serta merta dilepaskan dari tuntutan hukum dan hal ini perlu dilakukan secara hati-hati,” kata Lalola.

“ICW mendorong agar ada bentuk penghukuman lain selain hukum penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi. Ada mekanisme DPA atau UU perampasan aset. Jika kita mau punya dorongan ke arah sana dalam upaya perampasan aset termasuk korupsi, kita harus ke arah sana meski belum adanya regulasi dan masih terombang-ambing,” sambungnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: