Keamanan dan Ketahanan Siber Perlu Payung Hukum Komprehensif
Berita

Keamanan dan Ketahanan Siber Perlu Payung Hukum Komprehensif

Pemerintah dan DPR didorong untuk meneruskan pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber dan melibatkan pihak swasta dan publik dalam pembahasannya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Keamanan dan ketahanan siber merupakan isu prioritas bagi seluruh negara seiring pemanfaatan teknologi informasi dalam aktivitas publik. Sayangnya, regulasi keamanan dan ketahanan siber di Indonesia belum didukung oleh payung hukum yang memadai sehingga belum memberi rasa aman pada ekosistem digital di Indonesia. Sehingga, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber perlu tetap dilanjutkan dengan melibatkan partisipasi aktif publik atau Public Private Dialogue (PPD) dalam penyusunannya.

Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, adanya kebijakan pembatasan sosial yang diberlakukan selama masa pandemi Covid-19 telah membawa perubahan dalam perilaku konsumen serta mempercepat transformasi digital Indonesia.

“Berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, CIPS mendorong pemerintah dan DPR untuk meneruskan pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber dan melibatkan pihak swasta dan publik dalam pembahasannya. Masukan dan best practice dari semua stakeholder sangat dibutuhkan untuk menciptakan RUU yang mampu merespons permasalahan dan mengakomodir kepentingan semua pihak,” jelas Pingkan, Rabu (21/4).

Dia menambahkan penyusunan RUU Kemanan dan Ketahanan Siber juga diperlukan mengingat jumlah pengguna internet bertambah pesat saat pandemi Covid-19.  Namun, peningkatan lalu lintas internet juga telah menarik pelaku kriminal siber dan berakibat pada meningkatnya kasus serangan siber di Indonesia. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memperlihatkan bahwa antara Januari-April 2020 terekam setidaknya sekitar 88 juta kasus kejahatan siber, seperti percobaan penipuan (phising), serangan malware, dan pengumpulan informasi ilegal. 

Pingkan menjelaskan, penanganan ancaman kejahatan siber tidak berjalan optimal karena saat ini payung hukum keamanan dan ketahanan siber terpecah di beberapa kementerian. Kurangnya payung hukum yang komprehensif menyebabkan tanggung jawab tidak terkoordinasi dengan baik sehingga berpotensi menyebabkan tertundanya respons pemerintah terhadap ancaman siber yang meningkat. (Baca: Peringati Harkonas, Perlindungan Konsumen E-Commerce Jadi Sorotan Utama)

RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang dipelopori oleh Badan Legislasi DPR pada Mei 2019 seharusnya sudah disahkan menjadi Undang-Undang pada September 2019. Jika disahkan, Indonesia akan menjadi negara keempat ASEAN yang memiliki UU keamanan siber setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Penelitian CIPS memperlihatkan bahwa keamanan siber mencakup praktik, tindakan, dan upaya melindungi ekosistem siber dan aset perusahaan dan pengguna, dari serangan berbahaya yang bertujuan mengganggu kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi atau data. Aset-aset yang dimaksud, termasuk tapi tidak terbatas pada, perangkat komputasi yang saling terhubung, infrastruktur penting, server, jaringan, dan informasi yang disimpan atau ditransmisikan dalam ekosistem siber. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait