“Ini menjadi pintu masuk buat pegangan notaris kalau diminta penyidik untuk memberikan keterangan sehubungan akta yang dibuatnya,” tutur Anggota MKN Pusat, Abdul Syukur Hasan.
Bukan hanya itu, pria yang menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) dua periode ini mengatakan, keberadaan MKN turut menjembatani hubungan harmonis antara notaris dengan penyidik baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Alasannya, karena selama ini para notaris bingung dan bahkan ragu jika dipanggil penyidik atau peradilan dan diminta untuk membuka akta otentik yang dibuat.
Ia menjelaskan, Permenkumham MKN ini terbit karena perintah dari UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (JN). Perubahan UU ini merupakan tindaklanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD)’ pada Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004. Intinya, MK menilai pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tak perlu persetujuan MPD.
Padahal, lanjut bakal calon Ketua Umum INI periode 2016-2019 ini, apabila dirunut sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 2004, jika ingin membuka isi akta itu harus minta persetujuan dari pengadilan. Namun, setelah UU No. 30 Tahun 2004 lahir, pembukaan isi akta perlu mendapatkan persetujuan dari MPD.
Nah, lantaran pasal terkait hal itu di UU No. 30 Tahun 2004 dihapus MK, maka terjadi kebingungan di kalangan notaris. Di satu sisi, notaris diharuskan menjaga rahasia isi akta, tapi sisi lain penyidik dengan mudahnya memanggil notaris dalam kepentingan penyidikan. Untuk itu pembuat UU menerbitkan UU No. 2 Tahun 2014 yang mengamanatkan pembentukan MKN.
Hal ini dilakukan untuk menjawab kebingungan para notaris dalam menghadapi pemanggilan maupun pemeriksaan penyidik berkaitan minuta akta. Notaris dipersilahkan membuka isi akta tanpa merasa menyalahi aturan jika sudah memperoleh persetujuan dari MKN Wilayah.
“Ini menjadi pintu masuk buat pegangan notaris kalau diminta penyidik untuk memberikan keterangan sehubungan akta yang dibuatnya kalau sudah diberikan persetujuan MKN gak ada ragu-ragu lagi harus diberikan keterangan itu,” tutur Syukur.
Syukur berharap, pembentukan MKN Wilayah dapat segera dilakukan. Semakin cepat, maka semakin baik bagi profesi notaris itu sendiri. MKN Pusat sendiri telah rapat bersama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM terkait pembentukan MKN Wilayah ini. Rapat dilakukan lantaran Dirjen AHU yang berwenang memilih dan mengangkat susunan pengurus MKN Wilayah yang terdiri tiga orang dari unsur notaris, dua akademisi dan dua perwakilan pemerintah. Menurutnya, sebaiknya pembentukan dan pengangkatan MKN Wilayah dilakukan secara serentak.
“Saya inginnya segera, karena lembaga ini ditunggu-tunggu teman-teman di wilayah, untuk mempercepat waktu kemarin kita sudah bincang-bincang dengan Pak Dirjen AHU, kalau sudah dibentuk nanti pelantikannya serentak saja di Jakarta, akan lebih efisien,” kata Syukur.
Syukur mengingatkan, agar para notaris tak memiliki pemikiran bahwa keberadaan MKN merupakan tempat berlindungnya notaris. Jika ini yang dipikirkan, maka bisa memicu munculnya gesekan antara notaris dengan penyidik. Karena dulu zaman MPD, ada beberapa MPD mempunyai cara kerjanya seperti itu, ketika penyidik minta apapun alasannya ditolak. Ini yang membuat marah penyidik, seakan-akan MPD itu menjadi penghalang atau menjadi tempat berlindungnya notaris-notaris itu,” katanya.
Agar MKN Wilayah tak bernasib sama dengan MPD, maka MKN Pusat tengah merumuskan buku pedoman bagi MKN Wilayah dalam menangani permintaan dibukanya isi akta oleh penyidik. Bukan hanya itu, MKN Pusat juga memiliki pemikiran jika unsur perwakilan pemerintah dalam MKN Wilayah salah satunya bisa ditempati oleh anggota Kepolisian yang ditunjuk oleh Kapolda setempat.
Jadi ketika dibentuk majelis pemeriksa itu polisinya dengar sendiri, ini layak apa tidak dibuka. Jadi kita bisa harmonis antara penyidik dengan MKN,” kata Syukur.
Ke depan, rencananya MKN Pusat akan membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Bukan hanya itu, kerja sama bukan hanya dilakukan antara MKN Pusat dengan Kepolisian atau Kejaksaan saja, melainkan juga dengan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI).
“Supaya tidak saling curiga, supaya tetap baik, langgeng, rekan-rekan notaris jadi tenang. Jadi kalau dipanggil polisi, polisinya yang mengerti dunia notariat,” ujar Syukur.
Anggota MKN Pusat, Adrian Djuaini sepakat bahwa keberadaan MKN menjadi ‘jembatan’ dalam menciptakan hubungan harmonis antara notaris dengan penyidik. Agar hubungan baik itu tetap terjaga, ia berharap, pengurus MKN Wilayah bisa secara jernih melihat permintaan pengajuan pembukaan isi akta.
“Diharapkan MKN ini personil-personilnya terutama dari (unsur) notaris memahami benar, profesional, memahami kerjaan notaris dan harus bisa melihat mana yang pelanggaran dan mana yang bukan pelanggaran,” tuturnya.
Menurut Adrian yang menjabat sebagai Ketua Umum INI, keberadaan MKN bukan untuk menghambat kinerja penyidik. Namun, untuk memberikan win-win solution antara perlindungan terhadap profesi notaris dengan menghormati penyidikan yang dilakukan. “Bukan menghambat kerjanya penyidik, tapi di MKN itu jadi gerbang terakhir permintaan daripada penyidik bisa dikabulkan atau tidak,” tambahnya.
Ia berharap, pembentukan MKN Wilayah, yang ditandai dari terbitnya Surat Keputusan Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM dapat segera dilakukan. Keinginan tersebut sesuai dengan program yang digadang MKN Pusat, bahwa pada April 2016 MKN Wilayah di seluruh provinsi dapat terbentuk.
“Persiapan sudah dilakukan teman-teman di Pengwil (Pengurus Wilayah INI), personilnya sudah mereka bicarakan, sepakati, sebagian ya. Tinggal tunggu keputusan Dirjen AHU,” tutupnya. [Advertorial]