Kegamangan Hakim dalam Penerapan Keadilan Restoratif di Pengadilan
Utama

Kegamangan Hakim dalam Penerapan Keadilan Restoratif di Pengadilan

Pertanyaan krusial, penyelesaian perkara pidana menggunakan pendekatan keadilan restoratif perlu ditegaskan di luar atau di dalam pengadilan? Apakah nantinya produknya putusan atau penetapan? Termasuk jenis sanksi dan eksekusinya seperti apa? Untuk itu, keadilan restoratif juga perlu diatur dalam RKUHAP.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

“Tapi menjadi masalah, sehingga timbul beberapa perbedaan-perbedaan ini, apakah dengan restorative justice itu kira-kira cukup memadai mewakili atau mengembalikan keseimbangan? Mengembalikan keadaan semula sebelum ada tindak pidana, ini menjadi masalah,” kata dia.

Sementara, pengadilan memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Menjadi pertanyaan apakah pendekatan restorative justice diselesaikan di luar atau di dalam pengadilan. Menurutnya, bila di luar sidang bagaimana mekanisme penyelesaiannya karena tupoksi hakim memutus perkara. Bila jalur damai misalnya, dalam perkara perdata terdapat mediasi sebagai jalan penyelesaian perkara.

Bagi Suharto, konsep penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana perlu ditegaskan berada di luar atau di dalam persidangan. Sementara di hulunya di tingkat penyidikan pengaturan penghentian perkara terdapat produk hukum berupa surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Hal itu dihentikan karena tidak cukupnya bukti.

“Kalau di dalam sidang, hakim harus memutuskan, apakah produknya putusan atau penetapan. Apakah bersalah atau bagaimana. Kalau aspek pidana, itu ada aspek alasan pemaaf, sanksi ringan (atau dilepaskan, red)?”

Mantan Ketua Pengadilan Jakarta Pusat periode 2011-2013 itu menerangkan terdapat tiga jenis putusan pengadilan yakni bebas, lepas, dan bersalah. Menurutnya, bila diganjar hukuman ringan melalui rumusan Pasal 14A KUHP bersyarat atau Pasal 14C KUHP bersyarat khusus. Nah, restotarive justice semestinya perlu diatur dalam hukum materil dan formil. Karena itulah, penerapan restorative justice sangat bersinggungan dengan tupoksi hakim. Sebab, bila penyelesaian perkara melalui persidangan, konsekuensinya harus diputus pengadilan.

“Kalau pilihannya di dalam sidang dan di luar sidang ending-nya bagaimana? Jadi restorative justice ini tupoksi dengan pengadilan sedikit agak bermasalah. Kemudian, apakah ini untuk semua tindak pidana atau tindak pidana tertentu?”

Manajer Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati berpandangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus mengadopsi penerapan restorative justice. Mulai indikator syarat umum dan khusus, mekanisme pengawasan dan evaluasi, mekanisme kerja sama lembaga swadaya masyarakat/komunitas, jenis sanksinya, hingga mekanisme eksekusi siapa lembaga yang bertanggung jawab.   

Menurutnya, pelaksanaan keadilan restoratif harus dibangun melalui sistem terutama dari aspek hukum acaranya untuk menjamin akuntabilitas. “Kita sudah punya aturan restorative justice memberi ruang diskresi bagi aparat penegak hukum. Tapi sulit untuk mengujinya, makanya perlu akuntabilitas, bagaimana responnya kita perlu sinkronkan. Kita perlu revisi KUHAP dan perlu komitmen yang sama,” katanya.

Tags:

Berita Terkait