Kegentingan yang Dipaksakan
Editorial

Kegentingan yang Dipaksakan

Kini, bola liar penerbitan Perppu Ormas telah bergulir ke MK dan DPR.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Rencana Pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah didengungkan sejak 8 Mei 2017 lalu. Dua bulan kemudian, rencana Pemerintah tersebut berubah 180 derajat menjadi eksekusi pembubaran ormas dengan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Eksekusi pembubaran pun terjadi, ditandai dengan pencabutan status badan hukum HTI oleh Kemenkumham.

Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan. Perppu tersebut lahir ketika Pemerintah yang ingin membubarkan HTI sebelum melalui mekanisme yang diatur di UU Ormas. Padahal, waktu dua bulan dari sejak rencana pembubaran hingga terbitnya Perppu bisa dimanfaatkan Pemerintah untuk mengikuti mekanisme pemberian sanksi sesuai UU, mulai dari peringatan sanksi administratif hingga gugatan pencabutan status badan hukum atau pembubaran melalui pengadilan.

Memang, tahapan pemberian sanksi dalam UU membutuhkan waktu tak sebentar. Mulai dari peringatan satu hingga ketiga, sampai penghentian kegiatan sementara ormas dan menuntut pembubaran ke pengadilan. Tapi apalah artinya waktu jika due process of law ditegakkan. Ormas yang disasar memiliki hak untuk membela dirinya. Di Indonesia, hukum harus menjadi panglima.

Sayangnya, Pemerintah bersikap lain. Seolah-olah, Pemerintah memilih jalan pintas dengan menerbitkan Perppu. Walaupun di Perppu terdapat waktu 7 hari bagi ormas yang diduga melakukan larangan dapat membela diri, tapi pembelaan hanya sebatas surat. Jika tidak diindahkan, ormas tersebut langsung dibubarkan oleh kementerian yang sama mengizinkan ormas itu  melakukan kegiatan di Indonesia. Meski begitu, keputusan pembubaran masih bisa digugat ke PTUN.

Di mana kegentingan memaksanya? Apakah serangkaian lamanya mekanisme penjatuhan sanksi administratif dari peringatan tertulis hingga pencabutan status badan hukum ormas yang belum dilakukan Pemerintah itu masuk dalam kategori kegentingan memaksa? Banyak yang berpandangan, Perppu ini terbit dengan tidak memenuhi tiga syarat penerbitan Perppu sesuai putusan MK No. 38/PUU-VII/2009.

Ketiga syarat tersebut adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai; kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU karena memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Soal kegentingan memaksa ini juga telah termaktub UUD 1945. Pasal 22 Konstitusi menyebutkan, Presiden memiliki hak menetapkan Perppu jika dalam hal kegentingan yang memaksa. Selain itu, Perppu tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Perppu tersebut haruslah dicabut. Sekali lagi, di mana kegentingan memaksanya? Kegentingan memaksa atau kegentingan yang dipaksakan?

Kini, bola liar penerbitan Perppu Ormas telah bergulir ke MK dan DPR. MK diharapkan dapat memutus pengujian Perppu ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Tak keluar dari koridor Konstitusi. Kajian atas putusannya terkait Perppu pada 2009 silam bisa menjadi pegangan MK dalam menangani perkara ini.

Begitu juga DPR, pada masa sidang berikutnya tak perlu ikut terburu-buru menyetujui Perppu, seperti yang dilakukan Pemerintah. Sebelum masa sidang persetujuan itu tiba, DPR bisa ikut mengkaji dampak sosiologis maupun psikologis jika Perppu disahkan. Walaupun pintu masuknya adalah membubarkan ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tapi isi Perppu menyasar banyak target. Perlu diingat bahwa Perppu ini bukanlah Perppu HTI, melainkan Perppu yang mengatur, mengikat, dan berdampak pada semua ormas.

Ditambah lagi, ada sanksi pidana bagi anggota dan/atau pengurus ormas yang melanggar beberapa ketentuannya. Apakah orang dapat dihukum sebelum ia membela diri? Keikutsertaan dalam ormas tertentu malah menjerumuskan dirinya menjadi terpidana? Di mana peran negara dalam melindungi warga negaranya?

Pasal ini adalah pasal karet. Klausul ini bisa saja disalahgunakan aparat penegak hukum dengan menyeret orang-orang ke ranah hukum padahal orang tersebut sesungguhnya sedang menjalankan haknya untuk berserikat dan berkumpul.
Tags: