Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Kolom

Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas

RUU KUHP akan selesai dibahas pada Mei 2001 ini. Padahal, rumusan mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan belum sepenuhnya responsif terhadap korban utama dari bentuk kejahatan tersebut, yaitu perempuan. Tulisan ini akan mengupas persoalan-persoalan yang terdapat dalam peraturan hukum mengenai kejahatan semacam itu.

Bacaan 2 Menit

Pemahaman keliru yang seperti ini akan berakibat mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap eksistensi diri manusia meliputi otonomi, integritas tubuh dan kediriannya. Contoh yang paling nyata adalah penolakan hukum dan kebanyakan masyarakat terhadap perkosaan dalam rumah tangga (marital rape). Karena hal ini dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang juga didukung oleh ajaran agama, yang telah memposisikan perempuan sebagai "pelayan seksual" suaminya.

Perkosaan: antara hukum dan realitas

Perkosaan dirumuskan secara hukum sebagai suatu tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Rumusan ini nampak sekilas tidak problematis, tetapi tidak demikian kenyataannya.

Pertama, hukum lewat rumusannya telah mengesampingkan perkosaan yang dilakukan suami terhadap istrinya. Dengan kata lain, seorang istri tidak berhak secara hukum menolak hubungan seksual dari suaminya. Perempuan karenanya didiskualifikasikan berdasarkan status perkawinan.

Juga berarti, perkawinan menjadi suatu institusi yang disahkan secara hukum untuk mengobyektifikasikan tubuh perempuan (perempuan tak lebih sebagai obyek seks). Hal ini sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku secara umum bahwa relasi yang dibangun dalam institusi perkawinan pada pokoknya adalah relasi antara subyek dan obyek.

Kedua, mengesampingkan bentuk-bentuk lain dari perkosaan seperti penetrasi dengan alat/benda atau bagian tertentu dari tubuh (di luar penis), penetrasi ke liang dubur, pemaksaan untuk melakukan oral seks, juga pemaksaan berhubungan seks dengan hewan.

Ketiga, dengan rumusan persetubuhan seperti itu berarti pula mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan seperti menggesek-gessekkan alat kelamin laki-laki pada bibir alat kelamin perempuan, dubur atau mulutnya, atau menggesek-gesekkan pada bagian-bagian lain dari tubuh, dengan benda atau alat, atau dengan hewan.

Keempat, dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis) itu, untuk hal-hal yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).

Tags: