Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Kolom

Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas

RUU KUHP akan selesai dibahas pada Mei 2001 ini. Padahal, rumusan mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan belum sepenuhnya responsif terhadap korban utama dari bentuk kejahatan tersebut, yaitu perempuan. Tulisan ini akan mengupas persoalan-persoalan yang terdapat dalam peraturan hukum mengenai kejahatan semacam itu.

Bacaan 2 Menit

Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan" (submission), karena alasan-alasan tertentu. Umpamanya, antara seorang majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian/kelulusan dalam konteks hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya.

Rumusan hukum mengenai perkosaan tersebut menjadi standar di dalam proses dan prosedur atau mekanisme hukum, dalam jajaran sistem peradilan pidana. Sebagai konsekuensi dari hal ini, setiap laporan perempuan atas peristiwa perkosaan yang dialaminya akan beresiko dikesampingkan sepanjang dianggap tidak sesuai dengan rumusan hukum yang berlaku.

Dengan cara itu sebenarnya hukum telah mendiskualifikasikan korban sejak awal, bahkan sebelum sampai kepada proses hukum itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami mengapa banyak dari kasus-kasus perkosaan yang tidak terlaporkan (under-reported) di tingkat kepolisian.

Di samping itu ada alasan-alasan lain, seperti: a) korban tidak tahu harus melapor ke mana, atau bagaimana cara melaporkan peristiwa yang dialaminya; b) jarak yang berjauhan antara lokasi kejadian dan pos polisi terdekat, sehingga korban sulit melaporkan hal tersebut; c) ancaman fisik dan non fisik dari pelaku terhadap korban untuk tidak menghubungi siapapun sehubungan dengan apa yang telah dialaminya; d) tekanan-tekanan pihak keluarga korban pada korban untuk menyelesaikan masalah ini melalui "jalan damai" dengan pelaku (misalnya, pelaku memberi ganti rugi berupa uang, barang, fasilitas dan sebagainya pada pihak korban dan keluarganya, bahkan dengan cara menikahi korban).

Sistem hukum pembuktian

Sistem pembuktian yang berlaku seringkali gagal mempertimbangkan pengalaman perempuan. Banyak kasus perkosaan yang berguguran di tengah jalan sebelum sampai ke tingkat pengadilan semata-mata karena dianggap tidak memenuhi sistem pembuktian yang ada, yang pada dasarnya tidak sesuai dengan realitas perkosaan terhadap perempuan.

Data kasus perkosaan yang ditangani oleh LBH-APIK Jakarta, misalnya, menunjukkan dari 25 kasus perkosaan selama tahun 1997-1999, baru tujuh kasus yang diputuskan di pengadilan. Ironisnya, dari tujuh kasus tersebut, hanya dua diantaranya yang dipertimbangkan sebagai kasus perkosaan. Selebihnya, diputuskan sebagai kasus pencabulan (empat kasus) dan kasus penyekapan (satu kasus).

Lima kasus terakhir tidak dipandang sebagai perkosaan karena dianggap tidak memenuhi dua unsur utama dari terjadinya perkosaan yang harus dibuktikan, yakni unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dan persetubuhan, sesuai dengan rumusan perkosaan yang telah didefinisikan oleh KUHP.

Tags: