Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Kolom

Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas

RUU KUHP akan selesai dibahas pada Mei 2001 ini. Padahal, rumusan mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan belum sepenuhnya responsif terhadap korban utama dari bentuk kejahatan tersebut, yaitu perempuan. Tulisan ini akan mengupas persoalan-persoalan yang terdapat dalam peraturan hukum mengenai kejahatan semacam itu.

Bacaan 2 Menit

Pendampingan korban

Dalam  hukum pembuktian ini, persoalan yang juga kontroversial adalah seputar alat bukti. Ketentuan mengenai alat bukti, nyata-nyata telah menjadi alat efektif dalam memangkas laporan-laporan perkosaan.

Hukum secara tertulis menentukan untuk mengajukan tuntutan secara hukum sekurang-kurangnya mesti ada dua alat bukti yang sah dari lima alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 183 dan 184 KUHAP). Namun, dalam prakteknya lebih kompleks.

Pertama, pada prakteknya, persetubuhan-yang menjadi unsur yang perlu dibuktikan dalam perkosaan-mesti dibuktikan dengan robeknya selaput dara, juga adanya sperma korban, yang ini pun mesti direkam dalam suatu visum et repertum. Padahal  realitasnya perempuan bisa diperkosa tanpa menyebabkan robeknya selaput dara. Sementara gagasan membuktikan perkosaan dengan sperma pelaku adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh korban.

Kedua, ketentuan mesti ada visum et repertum untuk merekam kondisi fisik korban juga bukti sperma pelaku, mensyaratkan korban untuk segera melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya ke polisi. Seringkali hal pertama yang dilakukan oleh korban adalah membersihkan diri dari bekas-bekas "aib" perkosaan ketimbang melapor langsung ke polisi.

Ketiga, dalam prakteknya, dari kelima alat bukti yang dicantumkan dalam KUHAP di atas, keterangan saksi menjadi prioritas. Adanya prioritas dalam praktek hukum ini, maka semakin sulit bagi seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jaranga ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan, kecuali perkosaan itu tertangkap tangan.

Begitu juga dengan pelaku, tentunya sangat jarang yang bersedia mengakui perbuatannya, tetapi bukti yang lain tidak ada. Maka kepada pelaku, belum dapat dikenakan hukuman.

Dari sistem pembuktian, yang rumit dan menyulitkan korban untuk mengajukan kasusnya, di mana akses terhadap hukum sangat rendah. Sementara hukum telah memposisikan drinya sedemikian rupa, sehingga tidak setiap orang bisa menjangkaunya. Dalam konteks ini, penting bagi korban untuk mendapatkan pelayanan hukum secara cuma-cuma disamping pendampingan psikologis.

Tags: