Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Kolom

Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas

RUU KUHP akan selesai dibahas pada Mei 2001 ini. Padahal, rumusan mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan belum sepenuhnya responsif terhadap korban utama dari bentuk kejahatan tersebut, yaitu perempuan. Tulisan ini akan mengupas persoalan-persoalan yang terdapat dalam peraturan hukum mengenai kejahatan semacam itu.

Bacaan 2 Menit

Pendampingan-pendampingan tersebut seharusnya menjadi hak korban dan harus dipenuhi dalam setiap tahap pemeriksaan dari tingkat kepolisian hingga pengadilan. Namun, ironisnya, dalam prakteknya sama sekali jauh dari kepentingan dan kebutuhan korban, seperti dalam kasus persidangan kasus perkosaan yang menimpa seorng perempuan penumpang taksi di PN Jaksel (Juli-Agustus 2000), pengadilan bahkan tidak mengizinkan pengacara korban untuk mendampingi korban di persidangan.

Alasan yang digunakan hakim, karena tidak ada ketentuan dalam hukum acara (KUHAP) yang mengatur secara eksplisit hak korban untuk mendapatkan bantuan hukum maupun pendampingan psikologis, walaupun juga tidak ada ketentuan yang melarangnya. Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP hanyalah untuk pihak terdakwa atau tersangka (Pasal 54 KUHAP).

Tidak dimuatnya ketentuan pendampingan bagi korban, pada akhirnya menjadi peluang bagi pengacara pelaku maupun hakim-hakim yang berpihak pada pelaku untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan korban. Fakta ini, di sisi lain, juga menunjukkan bahwa hukum lebih memperhatikan kepentingan pelaku ketimbang korban.

Pelecehan seksual dan perbuatan cabul

KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo).

Dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Adanya perbedaan penggunaan istilah antara perbuatan cabul, kesopanan/kesusilaan itu sendiri dengan pelecehan seksual, pada akhirnya juga membatasi penggunaan pasal-pasal kesusilaan terhadap berbagai kasus pelecehan seksual yang kerap terjadi seperti kasus pelecehan seksual di tempat kerja, jalanan, bis kota dan tempat-tempat keramaian lainnya.

Selain itu, bila dilihat dari pasal-pasal perbuatan cabul, isinya lebih ditujukan untuk melindungi korban yang belum yang belum dewasa juga korban-korban yang berada dalam relasi kekuasaan yang tidak seimbang, yakni antara orang tua dan anak-anaknya (kandung, tiri atau angkat), atau antara majikan dengan pembantu rumah tangga atau bawahannya.

Sekalipun ketentuan ini dianggap sudah cukup melindungi mereka yang lemah karena adanya perbedaan kelas sosial dan usia, tetapi masih tetap mengandung kelemahan. Yakni tidak dapat menjangkau seluruh bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami kaum perempuan. Contohnya adalah kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi di kendaraan umum, terminal, maupun pabrik-pabrik terhadap buruh perempuan oleh supervisinya atau sesama buruh pabrik.

Hampir sama dengan kasus perkosaan, perbuatan cabul juga harus dibuktikan dengan apakah ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 289 KUHP, mesti adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam perbuatan cabul ini, lagi-lagi seperti halnya perkosaan menjadi kendala utama perempuan untuk memproses kasusnya secara hukum.

Belum lagi adanya pertimbangan tak tertulis berkaitan dengan dikotomi seksualitas perempuan: "perempuan baik-baik" (madonna) atau "perempuan tidak baik" (whore). Riwayat seksual perempuan lagi-lagi menjadi pertimbangan dalam mekanisme hukum yang berlaku.

Ratna Batara Munti adalah Deputi Kajian LBH-Apik Jakarta

 

Artikel ini  disarikan dari tulisan Ratna Batara Munti yang berjudul "Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan" dalam buku "Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah"

 

 

 

Tags: