Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Kolom

Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas

RUU KUHP akan selesai dibahas pada Mei 2001 ini. Padahal, rumusan mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan belum sepenuhnya responsif terhadap korban utama dari bentuk kejahatan tersebut, yaitu perempuan. Tulisan ini akan mengupas persoalan-persoalan yang terdapat dalam peraturan hukum mengenai kejahatan semacam itu.

Bacaan 2 Menit
Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas
Hukumonline

Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya. Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan, dan dilanggengkan. Hukum, sejauh itu berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, hanya melegitimasi dari yang sudah berlaku di masyarakat.

Di sisi lain, hukum digunakan oleh negara sebagai alat untuk mengatur dan mengontrol seksualitas rakyatnya. Pasalnya, negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan pengaturan seksualitas tersebut demi tujuan-tujuan sosial-politik-ekonomi yang "dibenarkan". Seperti, dalam mengontrol fertilitas kaum perempuan lewat kebijakan KB untuk tujuan kependudukan dan ekonomis.

Keterbatasan istilah kesopanan

Sekalipun di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah disusun di Indonesia tidak dikenal istilah kekerasan seksual, beberapa bentuk-bentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat diketemukan di dalamnya, yakni di bawah payung bab kejahatan terhadap kesusilaan.

Istilah kesusilaan itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi dalam KUHP. Penjelasan mengenai istilah ini dapat ditemukan dalam buku nonresmi yang disusun oleh R. Sugandhi tentang "KUHP dan Penjelasannya", maupun oleh R. Soesilo dalam tema yang sama, yang banyak menjadi rujukan oleh para praktisi hukum.

Dalam kedua buku tersebut, kata "kesusilaan" diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh sebagai suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya. Yang semuanya dilakukan dengan "perbuatan". Juga  dikatakan dalam buku tersebut (R. Soesilo) dinyatakan bahwa "sifat merusak kesusilaan perbuatan tersebut kadang-kadang amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu".

Sementara bila kita lihat lebih jauh, apa yang diatur dalam bab kesopanan/kesusilaan itu sendiri, seperti pasal perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak laki-laki, pada dasarnya merupakan kejahatan seksual (sexual violence). Artinya, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah tindak kejahatan terhadap diri seseorang, yakni berkaitan dengan persoalan seksual.

Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).

Pemahaman keliru yang seperti ini akan berakibat mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap eksistensi diri manusia meliputi otonomi, integritas tubuh dan kediriannya. Contoh yang paling nyata adalah penolakan hukum dan kebanyakan masyarakat terhadap perkosaan dalam rumah tangga (marital rape). Karena hal ini dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang juga didukung oleh ajaran agama, yang telah memposisikan perempuan sebagai "pelayan seksual" suaminya.

Perkosaan: antara hukum dan realitas

Perkosaan dirumuskan secara hukum sebagai suatu tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Rumusan ini nampak sekilas tidak problematis, tetapi tidak demikian kenyataannya.

Pertama, hukum lewat rumusannya telah mengesampingkan perkosaan yang dilakukan suami terhadap istrinya. Dengan kata lain, seorang istri tidak berhak secara hukum menolak hubungan seksual dari suaminya. Perempuan karenanya didiskualifikasikan berdasarkan status perkawinan.

Juga berarti, perkawinan menjadi suatu institusi yang disahkan secara hukum untuk mengobyektifikasikan tubuh perempuan (perempuan tak lebih sebagai obyek seks). Hal ini sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku secara umum bahwa relasi yang dibangun dalam institusi perkawinan pada pokoknya adalah relasi antara subyek dan obyek.

Kedua, mengesampingkan bentuk-bentuk lain dari perkosaan seperti penetrasi dengan alat/benda atau bagian tertentu dari tubuh (di luar penis), penetrasi ke liang dubur, pemaksaan untuk melakukan oral seks, juga pemaksaan berhubungan seks dengan hewan.

Ketiga, dengan rumusan persetubuhan seperti itu berarti pula mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan seperti menggesek-gessekkan alat kelamin laki-laki pada bibir alat kelamin perempuan, dubur atau mulutnya, atau menggesek-gesekkan pada bagian-bagian lain dari tubuh, dengan benda atau alat, atau dengan hewan.

Keempat, dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis) itu, untuk hal-hal yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).

Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan" (submission), karena alasan-alasan tertentu. Umpamanya, antara seorang majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian/kelulusan dalam konteks hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya.

Rumusan hukum mengenai perkosaan tersebut menjadi standar di dalam proses dan prosedur atau mekanisme hukum, dalam jajaran sistem peradilan pidana. Sebagai konsekuensi dari hal ini, setiap laporan perempuan atas peristiwa perkosaan yang dialaminya akan beresiko dikesampingkan sepanjang dianggap tidak sesuai dengan rumusan hukum yang berlaku.

Dengan cara itu sebenarnya hukum telah mendiskualifikasikan korban sejak awal, bahkan sebelum sampai kepada proses hukum itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami mengapa banyak dari kasus-kasus perkosaan yang tidak terlaporkan (under-reported) di tingkat kepolisian.

Di samping itu ada alasan-alasan lain, seperti: a) korban tidak tahu harus melapor ke mana, atau bagaimana cara melaporkan peristiwa yang dialaminya; b) jarak yang berjauhan antara lokasi kejadian dan pos polisi terdekat, sehingga korban sulit melaporkan hal tersebut; c) ancaman fisik dan non fisik dari pelaku terhadap korban untuk tidak menghubungi siapapun sehubungan dengan apa yang telah dialaminya; d) tekanan-tekanan pihak keluarga korban pada korban untuk menyelesaikan masalah ini melalui "jalan damai" dengan pelaku (misalnya, pelaku memberi ganti rugi berupa uang, barang, fasilitas dan sebagainya pada pihak korban dan keluarganya, bahkan dengan cara menikahi korban).

Sistem hukum pembuktian

Sistem pembuktian yang berlaku seringkali gagal mempertimbangkan pengalaman perempuan. Banyak kasus perkosaan yang berguguran di tengah jalan sebelum sampai ke tingkat pengadilan semata-mata karena dianggap tidak memenuhi sistem pembuktian yang ada, yang pada dasarnya tidak sesuai dengan realitas perkosaan terhadap perempuan.

Data kasus perkosaan yang ditangani oleh LBH-APIK Jakarta, misalnya, menunjukkan dari 25 kasus perkosaan selama tahun 1997-1999, baru tujuh kasus yang diputuskan di pengadilan. Ironisnya, dari tujuh kasus tersebut, hanya dua diantaranya yang dipertimbangkan sebagai kasus perkosaan. Selebihnya, diputuskan sebagai kasus pencabulan (empat kasus) dan kasus penyekapan (satu kasus).

Lima kasus terakhir tidak dipandang sebagai perkosaan karena dianggap tidak memenuhi dua unsur utama dari terjadinya perkosaan yang harus dibuktikan, yakni unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dan persetubuhan, sesuai dengan rumusan perkosaan yang telah didefinisikan oleh KUHP.

Pendampingan korban

Dalam  hukum pembuktian ini, persoalan yang juga kontroversial adalah seputar alat bukti. Ketentuan mengenai alat bukti, nyata-nyata telah menjadi alat efektif dalam memangkas laporan-laporan perkosaan.

Hukum secara tertulis menentukan untuk mengajukan tuntutan secara hukum sekurang-kurangnya mesti ada dua alat bukti yang sah dari lima alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 183 dan 184 KUHAP). Namun, dalam prakteknya lebih kompleks.

Pertama, pada prakteknya, persetubuhan-yang menjadi unsur yang perlu dibuktikan dalam perkosaan-mesti dibuktikan dengan robeknya selaput dara, juga adanya sperma korban, yang ini pun mesti direkam dalam suatu visum et repertum. Padahal  realitasnya perempuan bisa diperkosa tanpa menyebabkan robeknya selaput dara. Sementara gagasan membuktikan perkosaan dengan sperma pelaku adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh korban.

Kedua, ketentuan mesti ada visum et repertum untuk merekam kondisi fisik korban juga bukti sperma pelaku, mensyaratkan korban untuk segera melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya ke polisi. Seringkali hal pertama yang dilakukan oleh korban adalah membersihkan diri dari bekas-bekas "aib" perkosaan ketimbang melapor langsung ke polisi.

Ketiga, dalam prakteknya, dari kelima alat bukti yang dicantumkan dalam KUHAP di atas, keterangan saksi menjadi prioritas. Adanya prioritas dalam praktek hukum ini, maka semakin sulit bagi seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jaranga ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan, kecuali perkosaan itu tertangkap tangan.

Begitu juga dengan pelaku, tentunya sangat jarang yang bersedia mengakui perbuatannya, tetapi bukti yang lain tidak ada. Maka kepada pelaku, belum dapat dikenakan hukuman.

Dari sistem pembuktian, yang rumit dan menyulitkan korban untuk mengajukan kasusnya, di mana akses terhadap hukum sangat rendah. Sementara hukum telah memposisikan drinya sedemikian rupa, sehingga tidak setiap orang bisa menjangkaunya. Dalam konteks ini, penting bagi korban untuk mendapatkan pelayanan hukum secara cuma-cuma disamping pendampingan psikologis.

Pendampingan-pendampingan tersebut seharusnya menjadi hak korban dan harus dipenuhi dalam setiap tahap pemeriksaan dari tingkat kepolisian hingga pengadilan. Namun, ironisnya, dalam prakteknya sama sekali jauh dari kepentingan dan kebutuhan korban, seperti dalam kasus persidangan kasus perkosaan yang menimpa seorng perempuan penumpang taksi di PN Jaksel (Juli-Agustus 2000), pengadilan bahkan tidak mengizinkan pengacara korban untuk mendampingi korban di persidangan.

Alasan yang digunakan hakim, karena tidak ada ketentuan dalam hukum acara (KUHAP) yang mengatur secara eksplisit hak korban untuk mendapatkan bantuan hukum maupun pendampingan psikologis, walaupun juga tidak ada ketentuan yang melarangnya. Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP hanyalah untuk pihak terdakwa atau tersangka (Pasal 54 KUHAP).

Tidak dimuatnya ketentuan pendampingan bagi korban, pada akhirnya menjadi peluang bagi pengacara pelaku maupun hakim-hakim yang berpihak pada pelaku untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan korban. Fakta ini, di sisi lain, juga menunjukkan bahwa hukum lebih memperhatikan kepentingan pelaku ketimbang korban.

Pelecehan seksual dan perbuatan cabul

KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo).

Dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Adanya perbedaan penggunaan istilah antara perbuatan cabul, kesopanan/kesusilaan itu sendiri dengan pelecehan seksual, pada akhirnya juga membatasi penggunaan pasal-pasal kesusilaan terhadap berbagai kasus pelecehan seksual yang kerap terjadi seperti kasus pelecehan seksual di tempat kerja, jalanan, bis kota dan tempat-tempat keramaian lainnya.

Selain itu, bila dilihat dari pasal-pasal perbuatan cabul, isinya lebih ditujukan untuk melindungi korban yang belum yang belum dewasa juga korban-korban yang berada dalam relasi kekuasaan yang tidak seimbang, yakni antara orang tua dan anak-anaknya (kandung, tiri atau angkat), atau antara majikan dengan pembantu rumah tangga atau bawahannya.

Sekalipun ketentuan ini dianggap sudah cukup melindungi mereka yang lemah karena adanya perbedaan kelas sosial dan usia, tetapi masih tetap mengandung kelemahan. Yakni tidak dapat menjangkau seluruh bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami kaum perempuan. Contohnya adalah kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi di kendaraan umum, terminal, maupun pabrik-pabrik terhadap buruh perempuan oleh supervisinya atau sesama buruh pabrik.

Hampir sama dengan kasus perkosaan, perbuatan cabul juga harus dibuktikan dengan apakah ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 289 KUHP, mesti adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam perbuatan cabul ini, lagi-lagi seperti halnya perkosaan menjadi kendala utama perempuan untuk memproses kasusnya secara hukum.

Belum lagi adanya pertimbangan tak tertulis berkaitan dengan dikotomi seksualitas perempuan: "perempuan baik-baik" (madonna) atau "perempuan tidak baik" (whore). Riwayat seksual perempuan lagi-lagi menjadi pertimbangan dalam mekanisme hukum yang berlaku.

Ratna Batara Munti adalah Deputi Kajian LBH-Apik Jakarta

 

Artikel ini  disarikan dari tulisan Ratna Batara Munti yang berjudul "Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan" dalam buku "Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah"

 

 

 

Tags: