Kekerasan Seksual pada laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius
Kolom

Kekerasan Seksual pada laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius

​​​​​​​Penyintas kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan stress pasca trauma, sehingga seorang penyintas perkosaan biasanya disarankan untuk berkonsultasi dengan crisis centre atau orang yang ahli dalam hal tersebut.

Korban kekerasan seksual laki-laki memilih untuk bungkam

Selama ini toxic masculinity membuat kita meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal, laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual—sehingga mereka tidak bisa diperkosa. Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan—sehingga mereka seharusnya dapat melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan.

Dalam jurnal "Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literatur" yang ditulis Michelle Davies dan Paul Rogers pada 2006, selama ini ada anggapan bahwa “seorang perempuan tidak dapat memaksa seorang pria untuk melakukan hubungan seks”. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang lebih agresif, menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, sulit untuk membayangkan ‘perempuan yang submisif’ memaksa seorang pria yang secara terang menolak untuk berhubungan seks, atau adanya laki-laki yang menolak kesempatan untuk berhubungan seks.

Laki-laki korban seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan “kejantanannya” karena tidak mampu melindungi diri maupun komunitasnya. Belum lagi, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual. Acapkali korban dikaitkan dengan ‘praktik homoseksualitas’ yang dianggap tabu dan tidak “normal”.

Berdasarkan jurnal ‘’Conflict-related sexual violence against men and boys’’ Wynne Russell tahun 2007, ketika menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki cenderung enggan untuk melaporkan kasusnya, sehingga membuatnya sulit untuk melihat dengan akurat ruang lingkupnya. Data statistik yang masih terbatas hampir pasti sangat kurang dalam merepresentasikan jumlah korban laki-laki. Kekerasan seksual pada laki-laki ada, namun sebagian besar tidak terdokumentasi. Hal ini menyebabkan kurangnya bantuan atau keadilan bagi laki-laki yang menjadi korban.

Dampak Kekerasan Seksual yang Dialami Laki-Laki

Selama ini, sebagian besar penelitian terkait kekerasan seksual berfokus pada perempuan sebagai korban dan masih sedikit yang membahas laki-laki sebagai korban. Kurangnya pencarian kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki dan kurangnya penelitian terkait dampak kekerasan seksual pada laki-laki menunjukkan sikap yang ada di masyarakat—bahwa ketika kekerasan seksual terjadi pada laki-laki, hal tersebut bukanlah topik yang dapat diterima untuk didiskusikan.

Banyak tulisan tentang trauma psikologi yang dialami korban perkosaan perempuan, sementara sedikit penelitian yang membahas korban laki-laki, penelitian terhadap kasus menunjukkan bahwa laki-laki juga mengalami banyak reaksi seperti yang dialami perempuan ketika menjadi korban, yaitu depresi, kemarahan, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, disfungsi seksual, trauma, dan keinginna untuk bunuh diri.

Masalah lain yang dihadapi laki-laki termasuk adanya peningkatan perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak dan adanya jarak emosional dengan orang lain (emotional distancing). Tidak jarang seorang laki-laki korban perkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialami, mempercayai bahwa dirinya yang memberikan kesempatan kepada pelaku.

Tags:

Berita Terkait