Kekerasan Seksual pada laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius
Kolom

Kekerasan Seksual pada laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius

​​​​​​​Penyintas kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan stress pasca trauma, sehingga seorang penyintas perkosaan biasanya disarankan untuk berkonsultasi dengan crisis centre atau orang yang ahli dalam hal tersebut.

Minimnya perlindungan hukum bagi korban laki-laki

Tidak dapat dipungkiri, kurangnya atensi publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual selain daripada laki-laki sebagai pelaku terhadap korban perempuan, telah membatasi pengadvokasian reformasi politik hukum bagi para korban. Dalam jurnal "Gender Neutrality, rape, and Trial Talk" yang ditulis Philip Rumney tahun 2008, meskipun sebagian besar negara seperti Amerika telah mengadopsi peraturan perundang-undangan yang responsif gender, masih ada celah hukum yang mendiskriminasi korban laki-laki.

Berdasarkan paper "Into The Mainstream: Addressing Sexual Violence against Men and Boys in Conflict" dari Plan Internasional tahun 2014 fakta ini didukung berdasarkan hasil survei terhadap 189 negara di mana dua puluh satu negara di antaranya belum memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki. Perkosaan terhadap laki-laki tidak didefinisikan pada terminologi atau klasifikasi kejahatan yang sama layaknya korban perempuan, karena perkosaan terhadap perempuan mungkin memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, atau tidak diakuinya perkosaan terhadap laki-laki sebagai suatu delik yang dapat dipidana.

Problematika yang serupa juga terjadi di Negara Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang belum mengenal istilah “kekerasan seksual”, memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban perkosaan. Berdasarkan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korban perkosaan haruslah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Sama halnya dengan rumusan Pasal 286 hingga 288 KUHP.

Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo menjelaskan bahwa pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan bagi laki-laki, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu.

Mau tidak mau, Aparat Penegak Hukum kerap menggunakan Pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP (‘perbuatan cabul’), ketika menangani kasus perkosaan terhadap laki-laki dewasa. Pasal-pasal tersebut dinilai “lebih” responsif gender sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Unsur ‘seseorang’ yang dicantumkan dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.

Hal yang perlu dilakukan kedepan

Hal yang penting yang dibutuhkan adalah pengumpulan data yang sistematis, semua data harus dapat dipecah berdasarkan jenis kelamin dan usia. Selain itu, perlu adanya ruang bagi para ahli untuk berdiskusi tentang cara memberikan bantuan untuk laki-laki dan anak laki-laki korban kekerasan seksual, mengingat isu ini luar biasa sensitif bagi korban dan masyarakat sehingga perlu strategi yang perlu dipikirkan masak-masak sebagaimana disebutkan dalam paper "Sexual violence against men and boys" oleh Wynne Russell. Mengingat korban laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda dari korban perempuan dan seringkali enggan untuk membahas kekerasan seksual yang dihadapinya dan dampaknya. 

Selain itu, penyintas kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan stress pasca trauma (PTSD), sehingga seorang penyintas perkosaan biasanya disarankan untuk berkonsultasi dengan crisis centre atau orang yang ahli dalam hal tersebut. Sebagian besar penyedia layanan dikelola oleh perempuan, namun mereka juga biasanya memiliki konselor pria dan perempuan. Korban dapat menanyakan apakah lembaga layanan memiliki staf laki-laki atau tidak.

Konseling dapat membantu mengatasi reaksi fisik dan emosional dan memberikan korban informasi yang diperlukan terkait prosedur medis dan proses peradilan. Korban juga memiliki hak untuk melaporkan kejahatan yang dialami, namun karena aparat penegak hukum tidak selalu peka terhadap laki-laki korban perkosaan penting untuk memiliki teman atau pendamping yang dapat mendampingi dalam pelaporan tindak pidana dan agar mendapatkan dukungan dan bantuan.

*)Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus. Keduanya Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait