Kekerasan Terhadap Anak Marak, Ini Saran Ketua MPR untuk Pemerintah
Berita

Kekerasan Terhadap Anak Marak, Ini Saran Ketua MPR untuk Pemerintah

Sebaiknya mengajukan revisi UU Perlindungan Anak ketimbang menerbitkan Perppu Kebiri. Poin yang perlu diubah antara lain terkait dengan sanksi pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Foto: mpr.go.id
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Foto: mpr.go.id
UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak belum lama berlaku setelah dilakukan revisi terhadap UU No.23 Tahun 2002. Revisi terhadap UU No.23 Tahun 2002 pun bagian respon dari berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Belakangan, publik dikejutkan dengan kasus kekerasan berupa pemerkosaan hingga menewaskan Yuyun oleh sekelompok anak di bawah umur. Keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus tersebut, antara lain merevisi UU tentang Perlindungan Anak.

“Kalau pemerintah serius, pemerintah melalui kementeriannya segera mengajukan revisi terhadap UU tentang Perlindungan Anak,” ujar Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid di Gedung MPR, Selasa (10/5).

Menurutnya, revisi UU No.35 Tahun 2014 menjadi jalan keluar mengatasi lemahnya aturan yang ada. Terlepas beleid itu belum lama direvisi, namun bila menggunakan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) dinilai tidak tepat.

Memang, banyak kalangan mengusulkan diterbitkannya Perppu tentang Kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun, Hidayat menilai Perppu itu hanya sebagai sinyal dari pemerintah untuk memberikan hukuman yang lebih berat. “Pemerintah berkomitmen untuk itu, tapi masalahnya ada dua,” ujarnya.

Pertama, bila acapkali menggunakan Perppu, bakal dikhawatirkan Indonesia terkesan menjadi negara dalam keadaan darurat. Padahal sebagai negara hukum, mestinya mempersiapkan segala aturan sebelum terjadinya peristiwa pidana. Hidayat sepakat bila pemerintah mengajukan inisiatif usulan revisi UU No.35 Tahun 2014.

“Ini ada masalah yang sangat darurat. Mari segera kita revisi undang-undang ini dalam waktu yang secepat-cepatnya dan sesegera dan itu bisa. Berapa kali kita pernah kok, berapa undang-undang karena kepentingan yang mendesak kita sepakati, kita ubah dengan cepat,” ujarnya.

Kedua, sanksi hukuman pengebirian bakal menuai kelemahan. Pasalnya, pemerkosaan yang terjadi belakangan terakhir disebabkan aktivitas mabuk-mabukan. Penyelesaiannya pun tidak melalui sanksi hukuman pengebirian. Mestinya hukum menelisik dari sebab musabab. Poin penting revisi UU tentang Perlindungan Anak antara lain pemberatan sanksi hukuman terhadap kejahatan anak dan memberikan perlindungan maksimal terhadap anak yang menjadi korban.

“Kalau saya sih pemberatan hukuman mati pun dimungkinkan karena dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, itu ada pasal kok tentang sanksi hukuman mati yaitu kepada mereka yang melibatkan anak-anak dalam kejahatan narkoba, itu seksi maksimal hukuman mati. Solusi yang mendasar itu kita adalah negara hukum melalui revisi undang-undang terhadap perlindungan terhadap anak-anak dengan beragam alternatif hukuman,” ujar Hidayat yang juga menjadi anggota Komisi VIII dari Fraksi PKS itu.

Anggota Komisi VIII lainnya, Anda, mengamini pandangan Hidayat Nurwahid. Menurutnya bila revisi terhadap UU Perlindungan Anak lebih pada poin hukuman. Menurutnya pasal yang mengatur hukuman mesti diperberat terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. “Kalau perlu seumur hidup, tapi tidak sampai mati,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu menilai bila pemerintah ingin bergerak cepat, maka dapat menerbitkan Perppu. Pasalnya, pembahasan RUU membutuhkan waktu panjang. Terlebih Perppu berasal dari pemerintah sebagai pelaksana UU. Terkait dengan hukuman kebiri, Anda menyepakatinya.

“Saya sangat paham supaya jera. Artinya hukuman (kebiri, red) supaya bisa buat orang jera. Saya sepakat (hukuman kebiri, red), karena ini menyangkut ahlak,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay mendukung penuh upaya pembentukan aturan hukum terkait dengan pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual. Ia mengakui aturan yang ada kini masih ditemui banyak kelemahan. Oleh sebab itulah, Saleh mendorong agar DPR dan pemerintah melakukan pembicaraan agar menyepakati adanya aturan penghapusan kekerasan seksual masuk dalam Prolegnas.

“Kasus Yuyun merupakan momentum melakukan evaluasi terhadap aturan yang ada saat ini. Tidak boleh ada lagi korban setelah Yuyun. Semakin cepat (ada UU bersifat lex spesialis, red), tentu semakin baik. Kita sekarang sedang berada dalam darurat kekerasan seksual. Harus ada benteng perlindungan dalam bentuk UU,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyarankan agar kelompok masyarakat menyampaikan pendapat dan masukannya secara tertulis. Sebab dengan begitu, DPR dapat mempelajari masukan masyarakat terkait adanya aturan sebagai payung hukum melakukan pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan kekerasan seksual. Ia yakin Komnas Perempuan sebagai mitra kerja Komisi III telah memberikan masukannya kepada Komisi yang membidangi hukum itu.

Tags:

Berita Terkait