Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Pelanggaran HAM
Utama

Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Pelanggaran HAM

Karena kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai persoalan publik, bukan lagi persoalan domestik (privat).

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Adapun pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kekerasan terhadap perempuan adalah negara dengan institusi atau lembaga di dalamnya termasuk aparat penegak hukum. Selain itu, masyarakat, tokoh/pemuka masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pendamping atau lembaga bantuan hukum, organisasi perempuan (komnas perempuan), lembaga perlindungan anak, KPAI.

Hukumonline.com

LSM Rifka Annisa, Nurul Kurniati (bawah) saat memaparkan materi pelatihan. 

Bantuan hukum berbasis gender

Aktivis LBH APIK, Tuani mengatakan penanganan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan Bantuan Hukum Gender Struktural (BHGS). Konsep ini adalah cara bagaimana memberikan bantuan hukum dalam sistem yang tidak adil dan bias gender yang dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan yang kasusnya sedang ditangani. Pengalaman menangangi kasus ini untuk melakukan perubahan hukum dan pemberdayaan sumber daya hukum bagi masyarakat.

“Kriteria penanganan secara BHGS ialah perempuan miskin, buruh perempuan, pekerja rumah tangga, lansia, penyandang disabilitas, perempuan yang dilacurkan, kelompok rentan dan marginal lainnya,” ujar Tuani dalam kesempatann yang sama.

Ia menjelaskan BHGS menyasar problem struktural dan relasi kuasa yakni melihat akar persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami perempuan, kelompok rentan, dan marjinal lain. Hal ini disebabkan sistem hukum dan sosial yang tidak adil. Hukum lebih sebagai alat legitimasi bagi penguasa dan kelompok dominan untuk menguasai dan mengontrol berbagai sumber daya.

“Perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, dan bentuk-bentuk ketidakadilan gender lain akibat relasi kuasa yang timpang di masyarakat dalam sistem budaya patriarki,” kata dia.

Untuk itu, penting untuk memastikan korban diperlakukan sebagai subjek (riwayat seksual tidak dijadikan unsur atau faktor memberatkan); memastikan perempuan pelaku kekerasan mendapat perlakuan yang adil dan setara sejak proses penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan serta resosialisasinya; melakukan koordinasi dengan lembaga layanan bagi saksi dan korban.

Tuani juga menjelaskan BHGS memastikan akses perempuan terhadap keadilan dengan beberapa pertanyaan kunci, diantaranya bagaimana perempuan ditempatkan dalam hukum? Bagaimana perempuan diperlakukan oleh penegak hukum? Bagaimana proses dan putusan pengadilan atas perkaranya disidangkan pengadilan? Adakah mekanisme penyelesaian lain yang lebih menguntungkan perempuan?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait