Kekerasan Terus Berulang, Pendekatan Keamanan di Papua Dinilai Gagal
Terbaru

Kekerasan Terus Berulang, Pendekatan Keamanan di Papua Dinilai Gagal

Pendekatan keamanan memicu pelanggaran HAM di Papua semakin masif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Masyarakat sipil kembali menyatakan keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan yang terus terjadi di Papua. Belum genap sebulan setelah kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga Mimika, sekarang giliran kasus kekerasan yang menewaskan 1 orang terjadi di Mappi, Papua. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyebut peristiwa itu menunjukkan dampak buruk pendekatan keamanan dalam menangani persoalan di Papua.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan penggunaan pendekatan keamanan berimplikasi terhadap meningkatnya konflik yang terus meningkat. Hal itu bisa dilihat melalui berbagai kasus yang berujung kekerasan dan/atau penganiayaan terhadap warga lokal, bahkan hingga berakibat hilangnya nyawa.

Fatia mencatat peristiwa pembunuhan dan mutilasi 4 warga sipil di Mimika terjadi 22 Agustus 2022, pelakunya melibatkan 6 prajurit TNI AD. Kemudian 30 Agustus 2022 terjadi kekerasan di Mappi, yang dialami 4 warga sipil dan satu diantaranya tewas. “Pelakunya diduga kuat merupakan prajurit TNI dari kesatuan Satgas Yonif Raider 600/Modang,” kata Fatia ketika dikonfirmasi, Senin (12/9/2022).

Berbagai kasus itu menambah bukti terjadinya persoalan serius terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) HAM. Tragedi kemanusiaan yang terus terjadi dan berulang terhadap warga sipil di Papua, menunjukan watak negara yang tidak bertanggung jawab dalam upaya memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi setiap orang Papua.

Fatia melihat 2 peristiwa kekerasan itu sebagai fenomena puncak gunung es akibat kebijakan pemerintah yang keliru dalam menangani masalah di Papua. Pendekatan keamanan selalu menjadi pilihan utama. Padahal pendekatan keamanan selama ini terbukti tidak menciptakan perdamaian dan ketertiban, tapi menambah jumlah peristiwa dan korban kekerasan yang seringkali korbannya dari masyarkat sipil.

Menurut Fatian, maraknya peristiwa kekerasan oleh TNI tak lepas dari masalah peradilan militer yang tak kunjung dibenahi. Selama ini peradilan militer menjadi ruang impunitas karena prosesnya tidak akuntabel. “Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana harus dibawa dan diadili melalui mekanisme peradilan umum,” ujarnya.

Pemantauan KontraS periode Januari-Agustus 2022 di Papua menemukan sedikitnya 8 tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI. Tempat terjadinya peristiwa kekerasan itu tersebar mulai dari Jayapura, Mappi, Sinak, Intan Jaya, Maybrat, Manokwari sampai Mimika. Jenis kekerasan yang dialami antara lain kekerasan seksual, penganiayaan, penyiksaan, intimidasi serta penembakan. Sampai saat ini korbannya tercatat 18 warga sipil dan 7 diantaranya tewas.

Tags:

Berita Terkait