Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Tolak KUHP Baru
Terbaru

Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Tolak KUHP Baru

Karena semakin mempersulit penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. KUHP mengubah pelanggaran HAM berat dari pidana khusus (extra ordinary crime) menjadi pidana umum (ordinary crime).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah aktivis dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu saat aksi unjuk rasa turut menolak RKUHP di depan Istana Presiden, Kamis (1/12/2022) lalu. Foto: RES
Sejumlah aktivis dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu saat aksi unjuk rasa turut menolak RKUHP di depan Istana Presiden, Kamis (1/12/2022) lalu. Foto: RES

Penolakan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pun disuarakan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satunya Maria Catarina Sumarsih, ibu (alm) Bernardus Realino Norma Irawan atau akrab disapa Wawan. Wawan merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas dalam peristiwa Mei 1998.

“Sebagai orang tua korban (pelanggaran HAM berat, red) saya merasakan penegakan hukum dan HAM di Indonesia semakin sulit diharapkan untuk mendapat keadilan,” kata Sumarsih dalam diskusi yang digelar Amnesty International Indonesia bertema “Catatan Hari HAM 2022”, Jum’at (9/12/2022) kemarin.

Terbitnya KUHP baru dinilai menambah persoalan dalam proses penyelesaian hukum kasus pelanggaran HAM berat. Sumarsih mencatat ketentuan pelanggaran berat yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan yang sebelumnya diatur UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diadopsi ke dalam KUHP baru.

Baca Juga:

Hal tersebut berdampak terhadap beberapa hal, misalnya turunnya ancaman pidana untuk kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya, untuk kejahatan genosida UU No.26 Tahun 2000 mengancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun. Tapi, dalam RUU KUHP paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Begitu juga dengan ancaman pidana penjara untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dimana RUU KUHP memberikan hukuman yang lebih rendah.

KUHP baru juga tidak menegaskan berlakunya asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal daluarsa dalam kasus kejahatan luar biasa seperti pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu Sumarsih menilai KUHP baru menurunkan derajat pelanggaran HAM berat dari kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) menjadi pidana umum. Dampaknya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berpotensi tidak bisa diproses ke pengadilan.

“Kami sebagai orang tua korban menolak KUHP baru yang kaitannya dengan pelanggaran HAM berat dan Keppres No.17 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial pelanggaran HAM Berat Masa Lalu,” tegas penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2004 itu.

Tags:

Berita Terkait