Keluarga Korban Tolak Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

Keluarga Korban Tolak Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat

Keppres dinilai melembagakan impunitas dan memutihkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari (alm) Bernardus Realino Norma Irawan. Foto: ADY
Keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari (alm) Bernardus Realino Norma Irawan. Foto: ADY

Pemerintah telah menerbitkan beragam aturan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi faktanya sampai saat ini penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat itu mandek. Presiden Joko Widodo telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Pernyataan itu diungkapkan dalam pidato kenegaraan di gedung DPR/MPR, Selasa (16/8/2022) lalu.

Keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari (alm) Bernardus Realino Norma Irawan, menolak Keppres itu karena dinilai melembagakan impunitas dan berupaya memutihkan atau membekukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Dia menilai Keppres itu melanggar konstitusi. Pasal 28I ayat (5) UUD NKRI Tahun 1945 memandatkan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Sumarsih menyebut mandat tersebut telah tertuang dalam berbagai aturan tentang HAM, antara lain UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketentuan itu mengatur penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bisa dilakukan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk melalui UU.

Mekanisme itu diperkuat putusan MK No.18/PUU-V/2007 tentang permohonan pengujian UU No.26 Tahun 2000 yang intinya antara lain menyatakan terjadi atau tidaknya pelanggaran HAM berat ditentukan Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik.

“Keppres ini mengingkari konstitusi. Kami dan keluarga korban Semanggi 1 dan 2 menolak penyelesaian secara non yudisial. Kalau negara ini tulus, pasti akan memberikan jaminan kasus serupa tidak terjadi lagi dengan cara membuat jera pelaku,” tegas Sumarsih.

Sekalipun ada pengungkapan kebenaran terhadap kasus pelanggaran HAM berat, Sumarsih menekankan bentuknya seperti apa? Mekanismenya jelas harus melalui proses yudisial di pengadilan. Kesempatan untuk menceritakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang dialami bukan saja untuk korban tapi juga para pelakunya.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan salah satu hal penting dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat adalah memahami situasi korban dan keluarganya. Hal itu penting karena kondisi setiap keluarga korban berbeda-beda. “Maka kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana strategi ke depan,” lanjutnya.

Secara tegas, beka menyebut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial tidak menghapus mekanisme yudisial. Dia memberi contoh proses yudisial kasus Talangsari terus berjalan, tapi ada upaya pemulihan yang coba dilakukan pemerintah dengan memberi bantuan kepada korban. Tapi bantuan itu disertai syarat bahwa korban harus menekan perjanjian dimana tidak akan mempersoalkan lagi secara hukum peristiwa Talangsari atau “damai.”

“Hal seperti itu yang ditakutkan. Dari pengalaman itu kemudian Komnas HAM kembali menemui para korban dan menegaskan pemulihan hak korban tidak menghapus proses hukum yang berjalan,” kata Beka.

Tags:

Berita Terkait