Kembali Menjadi Biasa
Tajuk

Kembali Menjadi Biasa

​​​​​​​Biarlah semua proses berjalan sebagai bagian dari ujian tentang kualitas perundang-undangan pemilu, kualitas para hakim konstitusi, dan kedewasaan masyarakat kita untuk menjalani proses konstitusional.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi (BAS)
Ilustrasi (BAS)

Mata dunia terpatri selama 2 hari yang menegangkan di pusat Jakarta segera setelah KPU mengumumkan hitungan akhir hasil pilpres dan pileg. Pertanyaan besarnya apakah yang sedang terjadi? Akankah kerusuhan yang masif seperti Mei 1998 akan terulang? Siapa di belakangnya? Motivasi dan tujuan apa yang ingin dicapai dari gerakan-gerakan itu? Akan jadi apa kita kalau kerusuhan berhasil merusak nadi kehidupan bangsa Indonesia?

 

Syukurlah bayangan buruk dari sejumlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjadi. Delapan nyawa sudah melayang sia-sia, itu sungguh menyedihkan. Mungkin sekali para korban adalah orang-orang yang pada saat terakhir hidupnya tidak paham betul apa yang sedang dilakukannya di tengah kerumunan itu.

 

Begitulah yang selalu terjadi. Kerumunan terjadi begitu saja. Rasa ingin tahu, ketiadaan pekerjaan, hasutan orang, keinginan unjuk nyali, kekurang-pahaman arti proses demokrasi dalam bentuk pemilu, kebutaan tentang konstelasi politik, dan semua sebab lain yang kita sering tidak tahu. Majalah Tempo terbaru menyingkap dengan berani sejumlah fakta, dan dengan kualitas jurnalisme Tempo yang dapat dipercaya, kita jadi sedikit maklum.

 

Seberapun puncak kemarahan mereka yang kalah atau merasa dikalahkan dengan curang, rasa kehilangan kesempatan berkuasa yang dirasakan sudah begitu dekat, kerugian materil karena biaya besar dalam kampanye yang panjang, tetap saja sulit dipercaya bahwa ada dari kalangan elit politik dan pengambil keputusan di partai politik yang menginginkan Indonesia hancur dan terbelah.

 

Pada waktu kesadaran berbangsa kembali, pengaruh tekanan sekitar dan emosi mereda, maka keputusan untuk menempuh jalan hukum untuk menyelesaikan sengketa pemilu akhirnya ditempuh. Dan itu adalah yang terbaik untuk kepentingan semua lapisan bangsa. Bahwa ada akrobat dan perang kata-kata yang terus terjadi di antara para pendukung dan pembelanya, anggap saja itu bagian dari tumpahnya sisa emosi karena kekecewaan akan hasil pemilu. Akhirnya semua pihak akan kembali ke kesadaran yang manusiawi, kembali kekehidupan normal, menjadi bagian kecil dari masyarakat yang terus berjalan dengan penuh dinamika.

 

Dalam liputan Tempo tadi, ada indikasi sejumlah kecil orang yang motivasinya jelas sakit hati, cenderung pada menderita sindroma kuasa, yang gerakannya nyaris sangat berbahaya. Bahkan berita terbaru, ada rencana pembunuhan juga. Upaya dan kerusuhan yang mereka timbulkan akhirnya bisa diredam, karena siapapun di kedua kubu yang berkontestasi maklum bahwa ini semua hanya pertarungan politik sesaat dalam proses demokrasi. Ini bukan soal ideologi dasar, bukan juga soal agama, dan lebih lagi bukan soal kalau jagonya gagal menang maka kehidupan lantas akan berakhir. Diredamnya gejolak tadi juga terjadi karena kesigapan polisi dan tentara aktif yang tidak berpolitik. Suatu peran yang diharapkan terus dipegang.

 

Keputusan MK agaknya bisa diduga, semata karena dasar penentuan diterima atau ditolaknya gugatan adalah bukti-bukti yang sah dan meyakinkan. Dalam pemilu yang masif seperti ini, terutama untuk pilpres, siapapun akan sulit untuk membuktikan dan meyakinkan sembilan hakim MK bahwa kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif telah terjadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait