Kemenhut Dorong Penyusunan Perda Masyarakat Hukum Adat
Berita

Kemenhut Dorong Penyusunan Perda Masyarakat Hukum Adat

Presiden perlu mengintervensi penyelesaian konflik hutan adat terkait putusan MK.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mendorong pemerintah daerah untuk segera menyusun peraturan tentang penetapan masyarakat hukum adat terkait dengan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengelolaan Hutan Adat.

"(Putusan) MK itu merupakan hak konstitusional masyarakat Indonesia yang tidak bisa ditentang oleh siapapun," ujar Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan San Afri Awang di Jakarta, Kamis (2/10).

Putusan MK itu menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, sehingga pengelolaan hutan adat dapat diserahkan ke masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Kepala Daerah. San Afri menegaskan, pentingnya pengakuan negara atas masyarakat hukum adat sebagai subjek putusan MK tersebut.

"Mereka adalah masyarakat asli Indonesia yang sudah lama terpinggirkan, pihak Kemhut tidak dalam kapasitas untuk menolak atau menghalangi implementasi putusan itu," katanya.

Bahkan, lanjut San Afri, Kemenhut akan membantu penyusunan peraturan daerah dengan melakukan pemetaan wilayah hutan adat yang rata-rata masih bertumpang tindih dengan wilayah hutan negara.

"Pemetaan partisipatif sudah bisa digunakan sebagai data awal," tuturnya.

Penyusunan peraturan daerah ini juga harus mempertimbangkan aspek penting, seperti apakah masyarakat adat akan benar-benar bijaksana dalam mengelola hutannya, karena hingga saat ini banyak ditemui kasus penjualan wilayah hutan adat oleh tetua-tetua adat kepada pihak investor.

"Sebelum penyusunan perda ini, maukah masyarakat adat bersepakat untuk tetap menjaga kelestarian alam dan tidak merubah fungsi hutan," ujarnya

Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan bahwa putusan MK itu belum berfungsi di lapangan. Menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih masif di lapangan tentang putusan MK tersebut.

Dia mengatakan, niat baik pemerintah daerah khususnya kabupaten dan kota untuk menyusun peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat, membuat kebijakan itu belum dapat dioperasionalkan. Di tingkat Provinsi Bengkulu, kata dia, peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat akan segera disusun setelah pelantikan anggota DPRD periode 2014-2019.

"Kami berkomitmen mendorong pembentukan perda tentang masyarakat hukum adat sehingga putusan MK itu dapat dioerasionalkan," katanya.

Junaidi mengatakan, di Kabupaten Rejanglebong terdapat pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat Rejang seluas 200 hektar. Pengelolaan hutan adat di wilayah itu diproyeksikan menjadi contoh pengelolaan hutan adat yang lestari di beberapa wilayah di daerah itu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Prof Ahmad Sodiki, berpendapat Presiden perlu mengintervensi penyelesaian konflik hutan adat terkait putusan MK. Menurutnya, ada beberapa peraturan yang tumpang tindih dalam penyelesaian konflik hutan adat ini. “Jadi Presiden perlu intervensi," katanya.

Dia mengatakan, dalam berbagai putusan MK yang melibatkan beberapa instansi seperti Badan Pertanahan, Pemerintah Daerah dan Kementerian Kehutanan, maka Presiden harus melakukan intervensi. Sebab, masing-masing pihak yang terlibat berpegang teguh pada aturan yang mengatur kewenangan masing-masing.

"Sehingga Presiden dan DPR berwenang dan berkewajiban sesuai Ketetapan MPR nomor IX/MPR/2001 dapat melakukan sinkronisasi peraturan perundangan-undangan yang tumpang tindih," katanya.

Ia berpendapat bahwa pemulihan hak atas hutan adat bagi kesatuan masyarakat hukum adat merupakan masalah yang multiaspek, sehingga penyelesaiannya juga harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan.

Pihak yang terlibat dalam penyelesaian hutan adat antara lain masyarakat hukum adat, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan pihak swasta yang mengelola lahan bekas hutan.

"Termasuk objek hutan adat yang mungkin masih utuh atau sudah menjadi lahan hak guna usaha, bagaimana penyelesaiannya ini perlu melibatkan banyak pihak," katanya.

Pascaputusan MK Nomor 35 itu, tambah dia, jika ada hutan negara yang dikembalikan sebagai hutan adat dan diserahkan kepada masyarakat hukum adat, bukan serta merta beralih fungsinya.

“Masyarakat hukum adat dapat mengambil manfaat dari hutan mereka sekaligus menjaga kelestarian hutan dari proses deforestasi,” ujarnya.

Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa, Chalid Muhammad mengatakan bahwa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Joko Widodo harus mempercepat pengakuan hutan adat sesuai putusan MK.

"Percepatan pengakuan hutan adat masuk dalam program presiden dan wakil presiden terpilih dalam dokumen Nawacita, jadi kami harapkan pengakuan hutan adat dipercepat," katanya.
Tags:

Berita Terkait