Kemenkumham Bahas Perubahan Aturan Royalti Hak Cipta Lagu
Terbaru

Kemenkumham Bahas Perubahan Aturan Royalti Hak Cipta Lagu

Untuk menanggapi keberatan musisi. Salah satu poin Permenkumham 20/2021 yang akan direvisi mengenai biaya operasional LMKN yang rencananya akan dianggarkan lewat APBN.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

Selain itu, revisi ini juga mengatur dana cadangan dari royalti yang lagu dan/atau musik tidak dicatatkan penggunaannya, masih terdapat sengketa antar-pemilik, atau, pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkaitnya belum terdaftar sebagai anggota LMK. Dana ini dapat digunakan LMKN untuk pendidikan musik, kegiatan sosial atau amal, dan sosialisasi hak cipta dan hak terkait yang berkaitan dengan pengelolaan royalti.

Sementara itu, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Cahyani Suryandari menggarisbawahi bahwa pertemuan ini merupakan upaya pemerintah sebagai pembuat regulasi untuk meminta partisipasi seluruh pemegang kepentingan terkait substansi Permenkumham yang sedang disusun.

“Undang-undang sebagaimana peraturan yang dibuat oleh manusia tidak akan pernah sempurna. Namun kami mengundang Bapak/Ibu sekalian untuk memastikan substansi yang dibahas telah diketahui dan disepakati bersama. Saya harap tidak sampai ada protes setelah rancangan ini disahkan,” ujar Cahyani.

Upaya ini diapresiasi oleh Ketua Umum Performer’s Rights Society of Indonesia (PRISINDO), Marcell Siahaan, yang juga hadir di acara tersebut. Dia berharap akan ada mekanisme dan alur komunikasi yang jelas antara LMKN dan pihak yang diwakilinya sehingga peningkatan kesejahteraan pencipta musik/lagu dan pemilik hak terkait dapat terwujud.

“Kami berterima kasih atas pembahasan revisi ini. Namun yang juga penting untuk dibuat adalah adanya SOP untuk LMKN dan tentunya juga adanya komunikasi yang baik dengan kami sehingga tidak ada lagi trust issue,” katanya.

Sebagai informasi, LMK yang hadir antara lain PAPPRI, PROINTIM, RAI, PRISINDO, ARDI, WAMI, KCI, SELMI. Selain itu, hadir pula perwakilan dari Kementerian Sekretariat Negara RI dan LMKN.

Sebelumnya, salah satu founder AMPLI, Indra Lesmana, menganggap isu terkait peraturan pemerintah yang baru dalam pengurusan royalti, hak cipta dan hak terkait harus melibatkan stakeholder, yakni para musisi dan pencipta lagu. “Kami melihat adanya peraturan ini berjalan tertutup dan tidak transparan. Tidak adanya uji kelayakan, adanya penyerahan fungsi dan pelaksanaan harian kepada satu korporasi tanpa persetujuan stakeholder, hal ini tidak bisa dibenarkan,” ujarnya.

AMPLI pun membuat sebuah petisi dengan judul “Revolusi Industri Musik Indonesia Dimulai dari Royalti”. Setidaknya terdapat dua poin penting dari petisi tersebut, pertama terkait pencanangan Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM). Dikutip dari petisi AMPLI di www.change.org, SILM dinilai tidak membantu tata kelola industri musik Indonesia menjadi lebih baik, SILM ini justru berpotensi merugikan para pemusik dan pemilih hak cipta lagu di Indonesia.

Dengan memberikan kewenangan SILM ini ke perusahaan atau lembaga privat, lanjut AMPLI, pemerintah seperti melanggengkan praktik pengambilalihan fungsi negara oleh perusahaan yang terfokus pada profit. “Bukannya dalam UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 masalah royalti harusnya diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non-komersial, ya? Parahnya lagi, perusahan yang akan menjalankan SILM ditunjuk tanpa proses yang transparan dan akuntabel,” demikian bunyi petisi AMPLI.

Kedua, terkait adanya potongan sebesar 20 persen dari royalti yang terkumpul di SILM. AMPLI merasa keberatan karena terjadinya dua kali potongan yakni pada SILM, dan yang sebelumnya juga telah dipotong 20% oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Kemudian perusahaan ini juga menjalankan peran pelaksana harian dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti yang kebijakannya diputuskan tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu untuk persetujuan.

Tags:

Berita Terkait