Sejumlah lembaga penegak hukum menerbitikan berbagai regulasi terkait konsep keadilan restoratif (restorative justice). Salah satu sebabnya karena Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku belum menggunakan konsep keadilan restoratif.
KUHAP memang sudah memiliki keunggulan dalam hal penghargaan hak asasi manusia (HAM dari tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan. Namun, KUHAP sangat jelas bersandar pada konsep keadilan retributif. Konsep ini fokus pada menghukum pelaku atas kejahatan yang dilakukan.
Teori retributive justice menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana menjadi pembalasan yang adil atas kerugian akibat kejahatannya. Penjatuhan hukuman pidana sebagai penderitaan untuk pelaku dibenarkan karena telah membuat penderitaan bagi korban.
Berbeda dengan itu, konsep keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali hak korban ke keadaan semula, bukan pembalasan. Keadilan restoratif tidak hanya mengupayakan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, namun juga pelaku serta lingkungan terdampak suatu tindak pidana.
Baca Juga:
- Jaksa Agung: Penerapan Restorative Justice Pertimbangkan Aspek Kemanfaatan Hukum
- Beragam Alasan Kejagung Kabulkan Permohonan Keadilan Restoratif
Hukumonline mencatat bahwa KUHAP yang berlaku saat ini belum menggunakan konsep keadilan restoratif. Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum berupaya mengisi kekosongan hukum acara restorative justice secara terpisah atau dengan regulasi bersama. Wujudnya beragam mulai dari peraturan lembaga, keputusan, kesepakatan, edaran, hingga pedoman. Namun, semuanya memberi rambu-rambu yang mengatur kerja penegak hukum terkait untuk mewujudkan keadilan restoratif.
Berikut ini daftar 13 regulasi soal restorative justice yang Hukumonline himpun dari lembaga negara penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia.