Kenali 3 Prinsip Perlindungan Pengungsi dalam Hukum Internasional
Terbaru

Kenali 3 Prinsip Perlindungan Pengungsi dalam Hukum Internasional

Non-refoulement, non-penalization, dan non-discrimination merupakan prinsip utama perlindungan pengungsi yang dijamin hukum internasional.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit
Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia Dwita Aryani dalam diskusi Hukumonline bertajuk 'Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia', Senin (31/1/2022). Foto: CR-28
Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia Dwita Aryani dalam diskusi Hukumonline bertajuk 'Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia', Senin (31/1/2022). Foto: CR-28

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia mencatat populasi pengungsi di Indonesia per Desember 2021 telah mencapai 13.149 individu. Dengan presentase anak-anak sebanyak 27 persen; orang dewasa 71 persen; dan lansia 2 persen. Afghanistan menyumbang angka pengungsi terbanyak di Indonesia sebesar 7.438 individu. Jumlah terbesar pengungsi terdapat di wilayah Jabodetabek dengan sekitar 5.500 hidup mandiri atau tanpa bantuan dari organisasi International Organization for Migration (IOM).

Tren kedatangan pengungsi selama 5 tahun terakhir mengalami penurunan dikarenakan UNHCR Indonesia terus mengirimkan pengungsi ke negara ketiga melalui jalur resettlement (negara penerima secara permanen, red). “Apalagi, pada tahun 2018 ke 2019 terjadi penurunan karena Australia mengumumkan tidak akan lagi membantu pengungsi yang datang ke Indonesia setelah Maret 2018,” ujar Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia Dwita Aryani dalam diskusi Hukumonline bertajuk “Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia”, Senin (31/1/2022).

Dia menerangkan dalam kondisi ketika terdapat seseorang mengungsi dan masih berada di dalam wilayah negeri sendiri, maka orang tersebut disebut sebagai pengungsi dalam negeri dengan HAM melekat pada setiap individunya. Namun setelah melewati batas negara, perlindungan yang didapatkan orang tersebut menjadi bentuk perlindungan internasional yang bukan dari negaranya sendiri, tetapi dari negara pencari suaka.

“Inilah kenapa kami menekankan kewajiban perlindungan utama bagi individu pencari suaka atau pengungsi bukan di UNHCR, tapi di negara. Dikarenakan agent yang bisa memberi perlindungan dan pemenuhan hak bagi individu manapun adalah negara. Sedangkan UNHCR biasanya membantu pemerintah menjalankan fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan pemerintah. Misalnya registrasi (pencari suaka), penentuan status pengungsi atau bukan, dan lain-lain,” kata Dwita Aryani.

(Baca Juga: Perlu Pengaturan Komprehensif untuk Atasi Masalah Penanganan Pengungsi)

UNHCR sebagai organisasi internasional dimandatkan mendukung pemerintah dalam penyediaan perlindungan internasional untuk pengungsi dan pencari suaka serta mencari solusi jangka panjang untuk pengungsi. Kemudian bertugas untuk menyebarkan, mempromosikan, dan memonitor aplikasi hukum pengungsi internasional dan menangani pengungsi dalam negeri. Selain turut mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan, juga melindungi orang-orang tanpa kewarganegaraan.

Dwi melanjutkan dalam penanganannya, terdapat 3 prinsip utama perlindungan pengungsi yang telah dijamin hukum Internasional dalam bentuk hukum kebiasaan ataupun perjanjian internasional. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah non-refoulement, non-penalization, dan non-discrimination. "Tiga prinsip utama perlindungan pengungsi ini biasanya ditekankan UNHCR ketika melakukan advokasi ke pemerintah," kata dia.

Dalam prinsip non-refoulement, seseorang tidak boleh dikembalikan secara paksa ke wilayah di mana nyawanya dan/atau kebebasannya akan terancam. Prinsip ini telah memperoleh pengakuan sebagai Hukum Kebiasaan International (International Customary Law) yang mengikat semua negara di dunia tanpa terkecuali sebagai suatu sumber hukum internasional.  Dalam Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) dan Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) mengatur prinsip non-refoulement ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait