Kenali Teori Ini Agar Efektif Menindak Kejahatan Korporasi
Berita

Kenali Teori Ini Agar Efektif Menindak Kejahatan Korporasi

Salah satunya, UU Pemberantasan Tipikor belum terlalu jelas mengatur tentang konsep pertanggungjawaban pidana dan kriteria kesalahan korporasi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Ia memberi contoh kasus korupsi Nazaruddin. Sepanjang direktur utamanya terlibat, maka ia bisa dikatakan sebagai pelaku. Namun, jika direkturnya hanya sebagai pajangan saja tidak mempunyai kesalahan, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korporasi.

 

Kedua, vicarious liability. Prija menjelaskan seseorang dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan orang lain karena dianggap sebagai pengurus korporasi. Dalam perkembangannya, teori ini melahirkan absolute liability atau liability without fault. Artinya pelaku yang tidak memiliki mens rea (niat jahat), seperti penerapan pelanggaran dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  

 

“Teori ini kemudian melahirkan strict liability sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup.”

 

Ketiga, teori delegasi. Ia melanjutkan pertanggungjawaban pidana yang diletakkan atau dlekatkan pada seseorang yang oleh direksi diberi delegasi melaksanakan kewenangan korporasi. Keempat, teori agregasi, pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi. Jika perbuatan dilakukan sejumlah orang yang memenuhi unsur delik yang antara satu dengan yang lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Seperti, pelaku penyertaan, orang yang ikut menyuruh, dan merekayasa sebuah kejahatan korporasi.

 

Kelima, teori modal budaya kerja, kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat mempengaruhi cara kerja korporasi dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Jika tindakan seseorang yang memiliki dasar rasional, bahwa korporasi memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan tersebut.  “Kesalahan dilihat dari budaya keseharian korporasi. Teori ini melandasi lahirnya PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi,” kata dia.

 

Menurutnya, teori-teori tersebut yang juga melandasi lahirnya UU Pemberantasan Tipikor. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor disebutkan dalam hal tindak pidana korupsi   dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. “Aturan ini menggunakan teori identifikasi, yakni pengurusnya yang dituntut,” kata dia.

 

Dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor disebutkan tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. “Aturan ini menggunakan teori agregasi yang dituntut adalah korporasinya,” lanjutnya.

 

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan meminimalisir terjadinya kejahatan korporasi entitas perusahaan perlu bersikap profesional dan berintegritas di sektor bisnis. Misalnya, komitmen tidak memberi uang pelicin (suap-menyuap); meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan; memiliki kode etik, identifikasi risiko terjadinya korupsi; melaporkan indikasi tindak pidana korupsi; pemerasan atau bentuk pungli lain yang dilakukan oleh oknum regulator dan penegak hukum.

 

Meski begitu, dia menilai UU Pemberantasan Tipikor belum terlalu jelas mengatur tentang konsep pertanggungjawaban pidana dan kriteria kesalahan korporasi. “Ke depan ini, UU Pemberantasan Tipikor harus diperbaiki dan diubah. Perlu ada pembaharuan bentuk-bentuk pidana tambahan untuk korporasi serta peningkatan pidana denda untuk korporasi,” usulnya. (Baca Juga: Berhati-Hatilah!!! Ada 12 Jenis Pidana Tambahan yang Dapat Dikenakan Terhadap Korporasi)

Tags:

Berita Terkait