Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?
Kolom

Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?

Walaupun RKUHP membatasi kriminalisasi apabila dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak berarti setiap orang dengan leluasa mempelajarinya, apalagi mengembangkannya.

Bacaan 7 Menit
Mulya Sarmono. Foto: Istimewa
Mulya Sarmono. Foto: Istimewa

#SemuaBisaKena menjadi tagline perlawanan masyarakat sipil, saat Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali dibahas oleh pemerintah. Gerakan tersebut muncul karena RKUHP saat ini dinilai memuat pasal-pasal yang bermasalah, sehingga harus ditolak. Salah satunya, pasal mengenai pelarangan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Pada RKUHP versi 04 Juli 2022, ajaran yang dilarang tersebut diatur dalam Pasal 188. Di dalamnya memuat beberapa ayat dengan pengaturan mengenai jenis perbuatan serta sanksi penjara. Misalnya, pelarangan terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, akan diganjar dengan penjara maksimal empat tahun. Apabila penyebarannya dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti dasar negara, akan diganjar penjara maksimal tujuh tahun. Sedangkan jika penyebaran ajaran tersebut ternyata berdampak semakin luas, sanksinya juga akan semakin bertambah. Sanksi yang terberat yaitu selama 15 tahun. Meskipun kemudian ada pengecualian, tidak akan dipidana jika yang dilakukan adalah kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Larangan dalam RKUHP tidak hanya sebatas penyebaran ajaran tersebut saja. Tetapi juga untuk mendirikan organisasi yang menganut ideologi yang sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 189. Pelarangan juga dilakukan apabila seseorang mengadakan hubungan, memberikan bantuan atau menerima bantuan dari organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri yang menganut ajaran komunisme/marxisme-leninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah. Kedua perbuatan yang diatur dalam pasal tersebut diancam dengan pidana penjara maksimal sepuluh tahun lamanya. Pengaturan pasal ini berbeda dengan yang sebelumnya, yakni tidak ada perbuatan yang menjadi pengecualian.

Kedua pasal tersebut merupakan larangan paling awal yang diatur pada Buku Kedua RKUHP. Buku Pertama berisi ketentuan umum hukum pidana, sedang Buku Kedua berisi larangan dan sanksi pidana. Sehingga dari segi penyusunan saja, terlihat bahwa ajaran komunisme/marxisme-leninisme menjadi sesuatu yang diprioritaskan untuk dilarang dan disanksi pidana.

Baca juga:

Pada konteks sejarah hukum pidana di Indonesia, pasal yang serupa tidak diatur dalam KUHP di awal kemerdekaan sampai pada akhir periode Orde Baru. Sanksi pidana bagi penyebar ajaran tersebut justru diatur pada awal reformasi. Pemerintah menganggap bahwa penyebarannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap keamanan negara, sejenis dengan kejahatan makar untuk menggulingkan pemerintah atau pemberontakan dengan senjata (UU No. 27 Tahun 1999). Walaupun diatur di era reformasi, namun aturan pidana tersebut mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: XXV/MPRS/1996 Tahun 1966 yang mengatur pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) serta larangan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Lahirnya Ketetapan MPRS tersebut menjadi salah satu cara yang dilakukan di awal pemerintahan Orde Baru, untuk merespon peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). G30S/PKI sendiri dianggap sebagai gerakan makar dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi militer. PKI kemudian dituduh sebagai dalang atas peristiwa tersebut.

Atas kejadian itu, komunisme/marxisme-leninisme selanjutnya dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan PKI dicap sebagai organisasi berbahaya karena dianggap beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintahan yang sah dengan cara kekerasan. Para anggota maupun simpatisan PKI pun ditangkap dan dibunuh tanpa proses peradilan. Pemerintah di bawah kekuasaan Orde Baru kemudian membangun narasi mengenai “kejahatan PKI” serta menormalisasi pembantaian yang dilakukan melalui pembuatan novel dan film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Pada versi film yang kemudian disutradarai oleh Arifin C. Noer, diputar di setiap tanggal 30 September selama Orde Baru berkuasa. Namun pemahaman mengenai sejarah G30S/PKI saat ini sudah mulai berubah. Banyak ilmuan sejarah meragukan narasi Orde Baru mengenai gerakan makar PKI tersebut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyampaikan temuan yang tidak kalah penting terkait sejarah tersebut. Hasil penyelidikan yang dilakukan di lapangan menjumpai fakta bahwa ada banyak pola kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 di seluruh Indonesia. Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa.

Adapun pola kejahatan tersebut yaitu: (1) pembunuhan; (2) pemusnahan; (3) perbudakan; (4) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (5) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang; (6) penyiksaan; (7) perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (8) penganiayaan; serta (8) penghilangan orang secara paksa.

Berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik yang dijelaskan di atas turut mempengaruhi sikap pemerintah terkait ajaran tersebut, termasuk pula pelarangan melalui aturan pidana. Paling tidak ada tiga babakan sejarah serta latar belakang ekonomi politik yang dapat dijelaskan mengenai hal itu; Pertama, pada era Orde Lama ajaran tersebut tidak diatur sebagai suatu tindak pidana, karena Soekarno lebih moderat dalam menyikapi keberadaan PKI dan mengakomodir ajaran marxisme sebagai bagian dari ideologi yang harus dipelajari dan dikembangkan seiring dengan pandangan tentang nasionalisme dan islamisme. Soekarno menyebutkan bahwa mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteru satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Kedua, pada era Orde Baru penangkapan dan pembantaian anggota serta simpatisan PKI pada tahun 1965-1966, terbitnya Ketetapan MPRS tahun 1966 serta upaya menormalisasi pembantaian melalui sastra dan film sudah memadai sebagai alasan agar PKI tidak bangkit kembali. Negara kemudian tidak lagi memerlukan aturan pidana untuk mengkriminalisasi PKI dan ideologi yang dianutnya, karena peristiwa politik dan hukum yang melatar-belakanginya sudah cukup membuat setiap orang, tidak ingin berurusan dengan organisasi tersebut serta apapun yang berkaitan dengannya. Pemerintah di bawah Soeharto sampai di akhir kekuasaannya kemudian tidak mengatur pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di dalam KUHP.

Ketiga, pada era reformasi legitimasi mengenai “kejahatan” PKI sudah mulai memudar. Upaya pengungkapan kebenaran serta penelitian telah membuktikan berbagai kesalahan sejarah 1965-1966 versi pemerintah. Demokratisasi juga mendorong setiap orang untuk bebas berpendapat dan berani mengungkapkan setiap kebenaran yang lama dibungkam di era Soeharto. Akan tetapi warisan Orde Baru mengenai pelarangan ajaran tersebut tetap bertahan, termasuk melalui Ketetapan MPRS tahun 1966 yang masih berlaku hingga saat ini. Di sisi lain, pemerintah yang masih mempertahankan semangat anti-komunisme tidak mungkin melakukan kekejian yang sama seperti pada tahun 1965-1966 untuk menghilang jejak komunisme di Indonesia. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatur mengenai pelarangan ajaran tersebut, hanya bisa dilakukan dengan mengkategorikannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap keamanan negara dan diatur sebagai tindak pidana.

Atas penjelasan tersebut di atas, posisi pemerintah baik di era Orde Baru sampai Reformasi jika menyangkut ajaran komunisme/marxisme-leninisme, ternyata tidak banyak berubah. Hukum yang diberlakukan terhadap orang yang menyebarkan maupun mengembangkan ajaran tersebut bersifat repfresif. Hukum represif sendiri identik dengan negara totaliter. Di sana, ide tentang “ketertiban” meliputi lebih dari sekedar perdamaian, tetapi dalam praktiknya usaha untuk memaksakan rekonstruksi masyarakat secara radikal memunculkan kebutuhan akan paksaan. Dikarenakan tidak mampu mengharapkan kesetiaan publik, negara totaliter dihantui ketakutan akan perlawanan dan pengkhianatan, dan karenanya harus secara terus-menerus mengandalkan sumber-sumber daya pemaksanya (yang saat ini jauh lebih canggih). Kriminalisasi merupakan bentuk pengontrolan resmi yang paling disukai. Pilihan pemerintah Indonesia untuk tetap mengkriminalisasi ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam RKUHP juga demikian meskipun menimbulkan pertanyaan: kenapa negara tetap melanggengkan kriminalisasi tersebut?

Pasca pembubaran dan pembantaian PKI kurun waktu 1965-1966, pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang memuluskan perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Tak hanya itu, bertakhtanya Soeharto menandai kapitalisasi besar-besaran terutama dari hasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Menurut Winters, pada masa memperkaya diri itu Indonesia terlibat dan terikat sistem kapitalisme global; dan bahwa kekayaan dikumpulkan dan oligarkh diciptakan oleh proses pengambilan, penyedotan, dan perampokan kekayaan alam dan uang rakyat.

Pada era reformasi, iklim demokrasi juga mulai berkembang. Tetapi oligarkh tetap bertumbuh beriringan dengan sistem kenegaraan kita saat ini, bahkan sudah menjangkau banyak hal. Pada konteks pers di Indonesia misalnya, juga tidak luput dari cengkeraman oligarkh. Menurut Ross Tapsell, para oligarkh media Indonesia sukses beradaptasi. Sekelompok pengusaha dengan cepat berhasil mendominasi era konvergensi, mengonsolidasikan sebagian besar industri. Media kapital di Indonesia pun menjadi “konglomerat digital”: pemimpin dalam produksi berita multiplatform, proses yang mendorong dibelinya pesaing-pesaing yang lebih kecil. Sebagian besar infrastruktur komunikasi di era digital berbiaya mahal. Perusahaan-perusahaan kecil menghadapi fakta bahwa mereka tidak memiliki modal untuk bersaing melawan raksasa konglomerat digital dengan dana lebih besar.

Maka atas dasar tersebut menjadi jelas, kriminalisasi penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam KUHP lama dan dilanjutkan dalam RKUHP adalah bagian dari upaya agar sistem kapitalisme tersebut tetap langgeng di Indonesia. Walaupun RKUHP membatasi kriminalisasi apabila dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak berarti setiap orang dengan leluasa mempelajarinya, apalagi mengembangkannya. Artinya, ajaran komunisme/marxisme-leninisme yang dimaksud oleh RKUHP tetap dibatasi sedemikian rupa dengan ancaman sanksi pidana.

Pada penjelasan di atas kita dapat berkesimpulan mengenai kenapa negara melanggengkan kriminalisasi terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Pertama secara yuridis Ketetapan MPRS tahun 1966 sampai saat ini masih berlaku. Meskipun ada upaya pencabutan ketetapan tersebut yang telah dilakukan oleh Presiden Abdul Rahman Wahid (Gus Dur), akan tetapi usaha tersebut tetap gagal. Atas apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu pula, yang menjadi salah satu alasan DPR pada tahun 2001 mengeluarkan Memorandum I karena menganggap Gus Dur melakukan berbagai pelanggaran terhadap Haluan Negara.

Kemudian lahir pula Ketetapan MPR tahun 2003 yang menyatakan bahwa TAP MPRS tahun 1966 tersebut diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Sehingga pelarangan ajaran itu akan tetap bertahan selama tidak dilakukan pencabutan.

Kedua dan ini yang lebih subtantif, selama sistem kapitalisme dan para oligarkh masih ada, selama itu pula akan ada usaha untuk memberangus apapun yang menghalanginya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mempertahankan atau membuat aturan hukum untuk mengkriminalisasi siapapun yang mereka anggap sebagai “musuh yang mengganggu”. Dalam konteks Indonesia saat ini, mempertahankan MPRS tahun 1966 serta pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme melalui RKUHP secara tidak langsung merupakan upaya untuk tetap mengkriminalisasi perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan para oligarkh.

Atas argumentasi tersebut di atas, poin terpenting dari perlawanan terhadap pasal bermasalah dalam RKUHP tersebut, sesungguhnya terletak pada penentangan atas sistem kapitalisme dan para Oligarkh yang saat ini semakin menggurita di Indonesia. Tanpa semangat perlawanan yang demikian, maka kita tidak akan pernah bisa membendung pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP maupun pada aturan yang lain. Selain itu, selama sistem kapitalisme masih berjaya, selama itu pula jargon #SemuaBisaKena akan selalu menjadi kenyataan. Semakin hari kita akan dengan mudah dikriminalisasi dengan menggunakan pasal pidana, apabila aktivitas kita dianggap “membahayakan” kepentingan para oligarkh.

*)Mulya Sarmono, Pengacara Publik di LBH Pers.

Catatan Redaksi:

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait