Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan
Utama

Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan

Isi dalam Head of Agreement tersebut dinilai tidak rinci sehingga berpotensi menimbulkan sengketa.

Oleh:
M Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY

Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar bersama PT Freeport Indonesia (FI) telah melakukan tanda tangan kerja sama kesepahaman berupa Head of Agreement (HOA) pada Kamis (12/7). Dalam HoA tersebut pemerintah menyatakan telah menyepakati berbagai poin-poin penting sehubungan dengan akusisi saham Freeport oleh PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) -Inalum-.

 

Beberapa kesepakatan penting tersebut antara lain kepemilikan saham Inalum sebesar 51 persen di FI setelah sebelumnya hanya 9,36 persen. Di mana, pemerintah daerah yang diwakili Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika mendapatkan porsi saham 10 persen dari kepemilikan tersebut.

 

Kesepakatan lainnya, Inalum akan mengeluarkan dana sebesar AS$3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto, perusahaan asal Britania Raya, dan 100 persen saham Freeport McMoran Inc., induk perusahaan FI, di PT Indocooper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di FI. Rencananya, para pihak akan menyelesaikan jual beli saham ini sebelum akhir 2018.

 

Namun, meski pemerintah telah mengklaim jual beli saham ini mendekati tahap akhir ternyata masih terdapat pertanyaan dari publik mengenai status hukum HoA tersebut. Salah satunya diutarakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.  

 

“Menurut menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement). Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat keduanya mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda,” kata Hikmahanto, Sabtu (14/7).

 

Dia mengkhawatirkan apabila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum. Menurut Hikmahanto, pemerintah harus segera menyelesaikan proses akuisisi tersebut ke tahap yang lebih serius untuk menjamin kepastian jual beli saham Freeport.

 

Tidak hanya itu, ternyata isi dalam HoA tersebut juga dinilai tidak rinci sehingga berpotensi menimbulkan sengketa. Salah satunya, menurut Hikmahanto, adalah masa waktu status konsesi FI. Berdasarkan aturan saat ini, konsesi FI seharusnya berakhir pada 2021 namun dalam keterangan pers FI menyatakan penandatangan kerja sama ini menyepakati keberlangsungan FI hingga 2041. Padahal, hingga saat ini belum ada kejelasan status perpanjangan konsesi FI tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait