Kepastian Pajak Masih Jadi ‘PR’ Stabilitas Investasi
Berita

Kepastian Pajak Masih Jadi ‘PR’ Stabilitas Investasi

Berulangnya putusan terkait kasus pajak yang berbeda-beda akan menciptakan ketidakpastian hukum dan memperburuk iklim investasi.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Dikusi mengenai “Dampak Regulasi Pajak Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pajak Terhadap Stabilitas Bisnis dan Investasi”, di Jakarta, Rabu (11/10). Foto: DAN
Dikusi mengenai “Dampak Regulasi Pajak Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pajak Terhadap Stabilitas Bisnis dan Investasi”, di Jakarta, Rabu (11/10). Foto: DAN
Upaya Pemerintah Daerah (Pemda) dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dinilai berdampak kepada terjadinya tax uncertainty (ketidakpastian pajak). Salah satu sumber dari ketidakpastian pajak di daerah adalah terbitnya Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sebagai dampaknya, beban pajak yang ditimbulkan oleh Perda tersebut mengganggu dunia usaha karena tidak masuk dalam perhitungan awal pengambilan keputusan terkait investasi.

“Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi (terjadinya) tax uncertainty adalah inkonsistensi perlakuan otoritas terhadap ketentuan nailed down dan prevailing yang berlaku bagi suatu perusahaan,” ujar Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analisys (CITA), Yustinus Prastowo, Rabu (11/10), dalam dikusi mengenai “Dampak Regulasi Pajak Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pajak Terhadap Stabilitas Bisnis dan Investasi”, di Jakarta.

Ignasius menjelaskan, nailed down adalah sistem pemungutan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat di tandatanganinya kontrak atau saat perizinan diberikan. Dengan kata lain, nailed down bersifat statis terhadap perkembangan regulasi rezim pajak negara.

Hal itu berbeda dengan prevailing, di mana pemungutan pajak didasarkan terhadap perkembangan peraturan pajak yang berlaku dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan rezim pajak dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ignasius mengimbau perdebatan mengenai nailed down dan prevailing sudah saatnya tidak dimaknai sempit sekadar besaran pendapatan negara.

“Sudah waktunya diarahkan ke pertimbangan kepastian hukum dan investasi angka panjang,” ujarnya.

Selanjutnya, Ignasius mengatakan aspek kepastian pajak merupakan faktor yang sangat penting bagi investor dalam menentukan keputusan lokasi berbisnis dan berinvestasi. Ia mengacu pada survey OECD-IMF yang menunjukan bahwa pajak merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi berbisnis dan berinvestasi.

Dalam beberapa kasus misalnya, yang dialami PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Pemerintah menerbitkan beberapa Surat Keteapan Pajak Daerah Kendaraan Bermotor (SKPD PKB) berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menganut rejim prevailing. Hal ini berbeda dengan substansi Kontrak Karya PT NNT yang seharusnya tidak membayar pajak daerah. (Baca Juga: Ditjen Pajak: PP 36/2017 Demi Kepastian Hukum Pasca Pengampunan Pajak)

Sehubungan dengan banding atas beberapa masa pajak SKPD PKB PT NNT, putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim berbeda satu sama lain. Majelis hakim yang memeriksa dan memutus sengketa SKPD PKB A menyatakan menerima banding PT NNT sedangkan Mejelis Hakim yang memeriksa sengketa SKPD PKB B menolak. Padahal sengketa-sengketa tersebut serupa.

“Satu sengketa diputus oleh dua Majelis Hakim yang berbeda dengan keputusan yang berbeda,” tegas Igansius.

Sengketa lainnya dihadapi PT Freeport Indonesia dengan diterbitkannya SKPD Pajak Air Permukaan (PAP). PAP merupakan pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan yang dipungut oleh pemerintah daerah Provinsi. Dalam kasus PT FI ini, Ignasius menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. (Baca Juga: Ketua MK: Jangan Sampai Hukum Internasional Menegasi Hukum Bisnis Indonesia)

Beberapa kasus terkait penerapan PAP selain PT FI, ada juga dugaan fraud dalam menetapkan PAP di Sumatera Utara serta kerancuan pengenaan PAP dengan pembayaran konsesi kepada kepada BP Batam yang di dalamnya memuat porsi pembayaran yang disetorkan ke Pemprov Kepulauan Riau. Ignasius menilai kerancuan dan praktik double charging atas objek pajak yang sama membuat aturan pajak tidak selaras dengan paket regulasi setempat yang telah ada.

Terhadap putusan yang isinya berbeda, Majelis Hakim Agung di MA, sepakat mengakui KK dan PKP2B sebagai perjanjian yang bersifat khusus dan mengikat masing-masing pihak selayaknya UU. Hal ini dharapkan dapat mengurangi salah tafsir majelis hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan KK dan PKP2B. “Berulangnya putusan yang berbeda-beda akan menciptakan ketidakpastian hukum dan memperburuk iklim investasi di Indonesia,” tegas Ignasius.

Ia berharap berbagai badan peradilan yang independen. Pengadilan Pajak diharapkan menjadi muara bagi masyarakat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum di sektor pajak. Oleh karena itu, diperlukan reformasi di badan peradilan pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang tengah gencar dilakukan oleh Pemerintah. Dengan demikian Pengadilan Pajak dapat berperan sebagai agen perubahan wajah peradilan dengan menciptakan kepastian hukum dan keadilan.

Menyoal terkait kepastian, pengamat perpajakan yang juga akademi Universitas Pelita Harapan, (UPH) Roni Bako menegaskan bahwa kepastian hukum selalu bermuara kepada yang tertulis dalam setiap hukum. Substansi yang tertulis tersebut memuat tiga kaedah hukum, “Kaedah hukum kebolehan, kaedah hukum suruhan, dan kaedah hukum larangan,” ujar Roni.

Ia menekankan bahwa dalam implementasinya, ketiga kaedah hukum tersebut bersifat fakultatif dan imperatif. Oleh karena itu, Roni menekankan terwujudnya kepastian hukum di masyarakat mesti bisa tercapai dengan jalan menerapkan hukum dan menegakan hukum sesuai dengan segala sesuatu yang tertulis dalam hukum tersebut.

Terkait dengan kepastian hukum di ranah bisnis, Roni menyatakan, iklim bisnis yang kondusif bisa terjadi apabila hukum yang tertulis sesuai dengan hukum yang ada di masyarakat. Atau, hukum yang di masyarakat memaksa hukum tertulis menyesuaikan dengan kebutuhan di masyarakat. Pengalaman selama ini, kata Roni, ternyata praktik empiris lebih cepat dari pada hukum normatif.


Tags:

Berita Terkait