Keseimbangan Kepentingan dalam Mengungkap Data Pribadi Pasien Covid-19
Fokus

Keseimbangan Kepentingan dalam Mengungkap Data Pribadi Pasien Covid-19

Banyak peraturan yang mewajibkan tenaga kesehatan untuk merahasiakan data pribadi pasien. Namun ada warga yang khawatir terpapar virus jika data pasien tidak dibuka. Komisi Informasi Pusat punya peran penting.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pasal 38 UU Rumah Sakit mengatur kewajiban setiap rumah sakit menjaga kerahasiaan kedokteran. Ayat (2) mengatur hal senada dengan rumusan UU Praktik Kedokteran. Rumah Sakit hanya dapat membuka data pasien untuk kepentingan kesehatan pasien, permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 73 UU Tenaga Kesehatan mewajibkan setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan menyimpan rahasia penerima layanan kesehatan. Ayat (2) pasal ini menegaskan bahwa rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, pemenuhan permintaan aparat penegak hukum, permintaan penerima layanan kesehatan, atau sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal-pasal tersebut dinilai menghalangi kepentingan konstitusional para pemohon untuk mendapatkan informasi mengenai pasien yang sudah terkena Covid-19. Jika informasi itu dibuka, para pemohon dapat mencegah diri mereka atau setidak-tidaknya meminimalisasi potensi tersebar. Para pemohon berpandangan bahwa mengungkap data pasien Covid-19 justru berdampak positif, yakni melakukan deteksi dini dan mengurangi penyebaran. Jika warga mengetahui siapa saja yang sudah positif, warga justru dapat mencegah diri mereka untuk tidak menjadi sasaran penyebaran.

Sebaliknya, pandangan kedua, menganggap data pribadi pasien adalah informasi yang bersifat rahasia, atau ‘informasi yang dikecualikan’ --menggunakan istilah yang dipakai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Secara normatif, data pribadi dilindungi oleh hukum. Meskipun hingga kini Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang Perlindungan Pribadi, bukan berarti tidak ada payung hukum merahasiakan secara sungguh-sungguh data pribadi pasien.

Dalam diskusi daring mengenai peran media dalam perlindungan pasien, Rabu (15/4) lalu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menegaskan bahwa pembukaan data pasien akan berimbas lebih jauh pada pembukaan data berikutnya. Sebab, petugas akan melakukan penelusuran jejak gerak orang-orang yang berhubungan dengan pasien yang sudah positif. Penelusuran jejak akan membuka identitas orang yang ditelusuri. “Identitas pasien adalah rahasia, kecuali dalam hal tertentu,” ujarnya.

Jadi, konsep normatifnya adalah rahasia. Data pribadi pasien tidak boleh dibuka, kecuali untuk beberapa kepentingan (pengecualian) yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, atas persetujuan pasien, dibuka oleh aparat penegak hukum dan demi penegakan hukum, dan kepentingan yang lebih besar. Ia merujuk pada UU Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis.

Apa yang disampaikan Ricky sebenarnya sejalan dengan larangan yang diatur dalam Pasal 17 huruf h UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Suatu informasi dikecualikan jika dibuka dapat mengungkap rahasia pribadi seseorang termasuk riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik dan psikis seseorang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait