Ketika Aturan Sertifikasi Advokat Pengadilan Pajak Dipersoalkan
Berita

Ketika Aturan Sertifikasi Advokat Pengadilan Pajak Dipersoalkan

Pemohon meminta Majelis Hakim agar kedua pasal ini dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Oleh:
AID
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Ketentuan sertifikasi advokat yang diatur Menteri Keuangan sebagai syarat membela kliennya di Pengadilan Pajak dipersoalkan warga negara. Adalah Cuaca, SH, MH sebagai pemohon menggugat UU No. 16 Tahun 2009 tentang Perppu No. 5 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan UU 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK).     

Pengujian perkara bernomor 27/PUU-XV/2017 ini intinya mengatur kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan persyaratan sebagai Kuasa Wajib Pajak. Cuaca merasa dirugikan hak konstitusionalitasnya akibat adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan, pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa hukum.

“Pemohon beranggapan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan Pasal 34 ayat (2c) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar pemohon seperti dikutip dalam berkas permohonan, Jumat (9/6/2017).

Pasal 32 ayat (3) UU KUP berbunyi:
"orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berbunyi:
“Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.”

Kemudian, Pasal 34 ayat (2c) UU Pengadilan Pajak yaitu untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
b.
c. Persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri

Cuaca menilai aturan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, Menteri Keuangan (Dirjen Pajak) juga menjadi pihak dalam sengketa di Pengadilan Pajak. Dalam sidang pajak, pihak yang berhadapan adalah wajib pajak melawan Menteri Keuangan (Dirjen Pajak).

Kewajiban sertifikasi oleh Menteri diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa; Peraturan Menteri Keuangan Nomor lit/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak; PMK No. 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.

Sementara Menteri Keuangan memiliki kewenangan absoult terhadap pencabutan izin praktik advokat di Pengadilan Pajak. Hal ini diatur Pasal 26 PMK No. 11/1PMK.03/2014 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan izin Praktik. Bunyinya, “Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan izin praktik, dan menetapkan pencabutan izin praktik.”

“Ini potensi mengganggu independensi kuasa hukum yang ditunjuk untuk mewakili hak dan kewajiban wajib pajak di bidang perpajakan,” ujar Cuaca.  

Menurut Cuaca, kedudukan Kuasa Hukum (advokat/pengacara) atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan advokat sesuai persyaratan yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi konsultan pajak atau kuasa hukum wajib pajak yang mengharuskan sertifikasi. Sementara UU yang dimohonkan pengujian memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai kuasa atau konsultan pajak.

“Padahal, kuasa hukum atau konsultan pajak dan Menteri Keuangan sama-sama para pihak yang berperkara atau bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan atau Pengadilan Pajak,” tegasnya.

Dia menambahkan konstitusi kedudukan wajib pajak dan Menteri Keuangan dijamin memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Terlebih, pemungutan pajak bersifat memaksa sehingga tidak dapat dihindari adanya sengketa perpajakan. Karena ini, dia meminta kepada Majelis Hakim agar kedua pasal ini dihapuskan.
Tags:

Berita Terkait