Ketika Saksi Sengketa Pilpres Mengundang Tawa
Jeda

Ketika Saksi Sengketa Pilpres Mengundang Tawa

Ketua MK Hamdan Zoelva memaklumi suara lantang orang Papua, khususnya yang bermukim di pegunungan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana ketika saksi sengketa pilpres disumpah. Foto: RES
Suasana ketika saksi sengketa pilpres disumpah. Foto: RES
Sidang sengketa Pilpres 2014 yang dimulai 6 Agustus 2014 lalu adalah pertarungan serius antar para pihak, setidaknya pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa selaku Pemohon dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Termohon. Tidak hanya serius, sidang sengketa pilpres juga berpotensi berlangsung panas. Namun, di hari ketiga, sidang lanjutan sengketa pilpres justru diwarnai tawa.

Adalah Novela Nalifa, seorang saksi mandat dari kubu Prabowo-Hatta yang berhasil mengubah suasana persidangan serius menjadi ‘cair’. Dengan nada suara khas meninggi, jawaban-jawaban Novela ketika menjawab pertanyaan dari majelis hakim ataupun kuasa hukum Pihak Terkait seringkali mengundang tawa dan senyum.

Berbatik khas Papua, Novela tampil penuh percaya diri di persidangan yang dipimpin Hamdan Zoelva. Wanita asal Kampung Awaputu, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai Papua ini membeberkan kisah kecurangan yang dia ketahui. Novela mengatakan tidak ada pemungutan suara di kampungnya ketika Pilpres digelar 9 Juli lalu.

Hal ini terungkap ketika Hamdan menanyakan pelaksanaan Pilpres di Kampung Awaputu. "Tidak ada pemilihan di kampung kami Awaputu, tidak ada TPS,” kata Novela.

Hamdan kembali bertanya, “Lalu Pilpres  9 Juli 2014 Pilpres dimana?” Novela menjawab pelaksanaan Pilpres terjadi di kampung lain. Namun, dirinya enggan menceritakan kondisi pelaksanaan pilpres di kampung lain.

“Kalau kampung lain saya tidak tahu, Bapak bisa ke penyelenggara pemilu,” jawabnya dengan nada keras yang terkesan emosional. Tetapi, jawaban ketus itu justru mengundang tawa pengunjung sidang. Hamdan sendiri hanya bisa senyum-senyum seolah memahami watak orang Papua.

Saat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan suasana pemungutan suara di distrik saat itu. Novela menjawab, “Jangan tanya ke saya karena saya juga masyarakat, tanyanya ke penyelenggara pemilu!” cetusnya.

Mendengar jawaban itu, Patrialis menanggapi santai. “Nggak apa-apa saya suka gaya-gaya Anda seperti ini. Lanjutkan terus ya. Ini gaya Kartini masa kini,” ujar Patrialis sambil tersenyum. Novela pun membalas dengan senyuman. 

Suasana lucu terjadi saat Hakim Kontitusi Arief Hidayat menanyakan berapa jarak antara kampungnya dengan Distrik Paniai Timur. Novela menjawab, 300 kilometer secara spontan. Sontak, jawaban itu langsung membuat Arief menunjukkan ekspresi tak percaya. Sadar akan kesalahannya, Novela langsung buru-buru meralat keterangannya."Eeh 300 meter. Saya manusia Pak, pasti punya salah nggak apa-apa," tutur Novela sambil tersenyum.

Arief kembali mencoba bertanya apakah Novela sebagai saksi mandat distrik mengetahui ada kegiatan lain di distrik lainnya dengan jarak yang tak terlalu jauh itu. "Saya tidak mau bicara kampung lain. Saya maunya di kampung saya sendiri," katanya dengan suara ketus. Merasa tak sanggup melanjutkan pertanyaan, Arief memutuskan untuk tidak bertanya lagi. "Kalau saya lanjutkan bisa 'kacau' ini," gerutuhnya celetuknya sambil tertawa.

Tak hanya hakim, kuasa hukum Termohon (KPU) dan Pihak Terkait mendapat perlakuan yang sama. "Tadi saksi sampaikan tidak ada pencoblosan di kampung Awaputu. Apakah saksi melapor ke Panwas?" tanya Koordinator Tim Hukum KPU, Ali Nurdin. 

Novella yang berdiri dengan nada suara yang tinggi dan emosional, menjawab, "Melapor kemana? Panwas saja tidak ada di tempat." Setelah itu, Ali Nurdin pun mengurungkan niatnya untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada yang bersangkutan. 

Demikin pula saat kuasa hukum Pihak Terkait (Jokowi-JK), Taufik Basari, mengajukan pertanyaan. Novela menolak menjawab pertanyaan yang dia anggap tidak perlu dan cenderung mencari-cari kesalahannya. "Ah Bapak jangan tanya macam-macam, intinya saja. Cari-cari kesalahan saya saja," ucap Novela dengan suara keras dengan logat khas Papua yang kemudian disambut tawa seisi sidang.

Hamdan kemudian menengahi bahwa pertanyaan pihak terkait sudah tidak relevan diajukan kepada Novela sebagai saksi. "Iya, itu memang tidak relevan Pak," timpal Novela yang disambut tawa pengunjung. 

Hamdan mengatakan kebanyakan orang Papua yang bermukim di pegunungan terkadang bersuara lantang kalau berinteraksi satu sama lain. Kebiasaan tersebut sepertinya terbawa dalam pergaulan hingga ke ruang sidang ini.

"Kalau di Papua itu memang suaranya keras itu biasa, terlebih ini bicaranya pake microphone, jadi jangan terlalu keras," potong Hamdan saat mengingatkan keterangan Novela sambil senyum-senyum. 

Meski begitu, harus diakui peristiwa tersebut justru membuat suasana sidang menjadi cair dan tidak tegang, sehingga pengunjung sidang termasuk awak media yang mengikuti jalannya persidangan merasa terhibur. Kontras dengan suasana persidangan sengketa pilpres sebelumnya yang terlihat serius.  
Tags:

Berita Terkait