Ketua Kamar Pidana MA Ini Beberkan Seluk Beluk Penanganan TPPO
Utama

Ketua Kamar Pidana MA Ini Beberkan Seluk Beluk Penanganan TPPO

Dalam banyak kasus TPPO kerap terlambat dalam identifikasinya, baru dapat diketahui setelah akibat dari kasus itu muncul.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit
Ketua Kamar Pidana MA Suhadi saat pemaparan materi mengenai Tindak Pidana dalam UU TPPO,  Rabu (15/12/2021). Foto: CR-28
Ketua Kamar Pidana MA Suhadi saat pemaparan materi mengenai Tindak Pidana dalam UU TPPO, Rabu (15/12/2021). Foto: CR-28

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan kemanusiaan yang menjadi isu hangat baik di Indonesia maupun secara global. Terlebih, ada kecenderungan perkara TPPO yang naik dari tahun ke tahun. Fenomena TPPO ini dapat menimpa siapa saja, dimana saja dalam satu wilayah negara bahkan melintasi batas-batas negara lain.

"TPPO jika dilihat dari nomenklatur judul dari UU-nya, perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Ini salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia," ujar Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Suhadi dalam pemaparan materi mengenai Tindak Pidana dalam Undang-Undang TPPO, dalam Pelatihan bertajuk "Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi Hakim Peradilan Umum Seluruh Indonesia" di Hotel Novotel Tangerang, Rabu (15/12/2021).

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) didefinisikan pengertian perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau  penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,  penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang  kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam  negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau  mengakibatkan orang tereksploitasi.

"Tapi dalam praktiknya, masih jarang sekali ditemukan sebagaimana diuraikan dalam pasal tersebut. Terkadang rekrutmen dari tempat tinggal, kemudian kebanyakan setelah ada akibat baru muncul kasusnya. Jadi tidak (terungkap, red) dari awal,” kata Suhadi. (Baca Juga: Memperkuat Peran Hakim dalam Memutus Perkara TPPO)

Dia menegaskan dalam banyak kasus TPPO kerap terlambat dalam identifikasinya, baru dapat diketahui setelah akibat dari kasus itu muncul. Sebagai contoh, ketika terdapat seorang yang hendak diberangkatkan, baru disadari ada kejanggalan dan perlahan terbuka. Seperti persetujuan orang tua yang ternyata dipalsukan; pemalsuan identitas usia yang sebetulnya di bawah umur 17 tahun, tetapi dinaikkan; dan sebagainya. Bahkan, jika kasusnya lintas negara, seringkali baru terungkap setelah akibatnya muncul ditelusuri dan diketahui kasus tersebut adalah TPPO.

TPPO sendiri terbagi dalam beberapa tahap. Pertama, proses bagaimana TPPO dilancarkan melalui mekanisme perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. Kedua, cara-cara untuk melakukan proses demi mencapai tujuan, seperti menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau memberi bayaran tertentu. Ketiga, tujuan atau hal yang ingin dicapai dari rangkaian proses dan cara yang mengakibatkan seseorang tereksploitasi.

“Tidak ada satu pasal pun dalam UU TPPO yang menyatakan TPPO itu adalah delik formil atau delik materiil ya? Memang rentetan dari TPPO ini untuk sampai tujuan tertentu, ada kemungkinan orang tersebut dihukum sebelum ada akibatnya. Seperti halnya dalam ketentuan dari awal itu dia direkrut, kemudian mengirim, memindahkan, membatasi, sampai di tahap eksploitasi,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait