Ketua KHN: Perkembangan Hukum Ibarat ‘Turun Gunung’
Berita

Ketua KHN: Perkembangan Hukum Ibarat ‘Turun Gunung’

Tidak tahu kapan jatuh ke dasar jurang.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Prof JE Sahetapy. Foto: RES
Prof JE Sahetapy. Foto: RES
Setelah resmi dilantik, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) bertekad ingin langsung bekerja. Sempat tertunda beberapa hari, Jokowi pun sudah menetapkan 34 menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja. Komisi Hukum Nasional (KHN) memperkirakan ‘jalan terjal’ akan dihadapi Pemerintahan Jokowi-JK, khususnya di bidang hukum.

Dalam acara Focus Group Discussion (FGD), Ketua KHN Prof JE Sahetapy mengatakan ‘pekerjaan rumah’ bagi Jokowi-JK di bidang hukum masih cukup berat. Pasalnya, kata Sahetapy, perkembangan hukum di Indonesia cenderung menurun. Dia khawatir hukum Indonesia akan semakin terperosok.

“Perkembangan hukum tidak berjalan linier, tidak naik. Saya hanya melihat makin lama berjalan turun gunung, saya tidak tahu kapan jatuh ke dasar jurang,” papar Guru Besar Universitas Airlangga itu, Selasa (28/10).

Secara khusus, Sahetapy menyoroti kondisi penegakan HAM yang tidak kunjung membaik, meskipun presiden berganti. Dia mencatat sejak Presiden RI pertama, Soekarno, pelanggaran HAM terus saja terjadi. Tokoh Proklamator itu dianggap melakukan pelanggaran HAM karena memenjarakan sejumlah tokoh nasional seperti Sjahrir.

“Yang paling konyol era SBY (Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, red), pelanggaran HAM juga memburuk. Bagaimana dengan Jokowi? Belum tentu,” ujar Sahetapy membandingkan.

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bahrain mengaku pesimis terhadap Pemerintahan Jokowi-JK, khususnya terkait penegakan HAM. Menurut Bahrain, harapan publik terhadap Jokowi-JK sirna karena pertemuan Jokowi dan Prabowo Subianto menandakan telah terjadi transaksi politik.

Kabinet Kerja yang dibentuk Jokowi-JK, kata Bahrain, juga tidak bisa diharapkan karena beberapa menteri yang terpilih diduga tersangkut kasus hukum dan HAM. Proses seleksi menteri, menurut Bahrain, belum berjalan maksimal, meskipun telah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“KPK waktunya terlalu singkat, seharusnya lebih panjang. Seleksi menteri seharusnya tidak cukup 1-2 hari saja. Harusnya rekam jejak pelamggar HAM juga dicek,” ujar Bahrain dalam acara FGD yang sama.

Pengajar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harsanto Nursadi menyoroti sejumlah undang-undang baru yang berpotensi menimbulkan konflik di daerah. Undang-undang itu antara lain UU Perkebunan, UU Panas Bumi, dan UU Kelautan yang dihasilkan anggota DPR periode 2009-2014.

“Beberapa undang-undang itu tidak terpublikasi, padahal tarik ulur pembahasan cukup alot, khususnya terkait kewenangan daerah,” kata Harsanto.

Secara khusus, Harsanto menyinggung UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dia mengingatkan bahwa UU Pemerintahan Daerah yang baru itu tidak hanya terkait mekanisme pemilihan kepala daerah, seperti selama ini yang diperdebatkan. “UU Nomor 23 Tahun 2014 sebenarnya tidak hanya mengatur tentang pilkada tidak langsung, tetapi struktur pemerintahan daerah juga berubah,” tukasnya.

Menurut Harsanto, sistem otonomi daerah harus tetap memiliki dekonsentrasi atau penyambung (backbone) antara pemerintah pusat dan daerah, mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Dia menegaskan otonomi daerah bukan berarti hubungan antara pusat dan daerah terputus sama sekali.

“Sebagai negara kesatuan, kendali pusat ke daerah harus tetap ada tanpa harus mereduksi otonomi daerah, berbeda kalau negara federal,” ujar Harsanto membandingkan.
Tags:

Berita Terkait