Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif
Berita

Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif

Bagaimana mengembangkan dan memperkuat implementasi keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan, khususnya di level Undang-Undang (UU); penyiapan SDM dari aparat penegak hukum; dan diseminasi.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Syarifuddin menilai salah satu tantangannya bagaimana mengembangkan dan memperkuat implementasi keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan, khususnya di level Undang-Undang (UU) secara komprehensif. Tantangan lain, penyiapan sumber daya manusia (SDM) dari kalangan penegak yang memahami arti penting keadilan restoratif sekaligus tantangan melakukan diseminasi kepada masyarakat selaku subjek keadilan restoratif.                

Selain MA sudah menerbitkan beberapa kebijakan terkait keadilan restoratif, lanjutnya, ada banyak putusan pengadilan yang sudah menerapkan konsep keadilan restoratif. Misalnya, dalam Putusan MA No.307K/Pid.Sus/2010 amar putusannya hanya menjatuhkan hukuman “percobaan dengan syarat khusus” memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak. Salah satu pertimbangannya, yang dibutuhkan oleh korban adalah nafkah bulanan. Sedangkan pelaku berharap tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS. Dengan begitu kepentingan hukum kedua pihak dapat terakomodasi.

Selain itu, Putusan MA No. 566K/Pid.Sus/2012, dalam persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya sedang atau selesai menggunakan narkotika yang sangat kecil. Karena itu, seharusnya dakwaan yang dituduhkan kepada terdakwa lebih tepat Pasal 127, bukan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana dituduhkan oleh jaksa. Dalam perkara ini, Majelis MA menjatuhkan hukuman ringan terhadap pelaku dikurangi masa rehabilitasi.

“Ini contoh putusan restorative justice, bagian kecil dari putusan-putusan lain yang jumlahnya sangat banyak berkaitan penerapan restorative justice. Kumpulan putusan yang mengadopsi konsep restorative justice terkait perlindungan korban dapat dilihat dalam laporan penelitian tahun 2013 yang disusun Puslitbangkumdil MA, direktori putusan MA, dan situs berita hukum.”  

MA membuka diri semua masukan terkait penerapan keadilan restoratif sebagai bagian dari keberpihakan pada keadilan dan kemajuan bangsa dan negara. Sekedar renungan, di Belanda, ada beberapa penjara yang ditutup karena tidak ada penghuninya. Sebaliknya di Indonesia, hampir seluruh lapas dan rutan mengalami overcrowded akibat terlalu banyak pelaku kejahatan yang dipidana penjara. Hal ini karena di Belanda menerapkan hukuman pidana alternatif (nonpenjara) terhadap pelaku kejahatan.

Seperti, hukuman kerja sosial, rehabilitasi, program keterampilan. Hukuman alternatif ini untuk menyelesaikan kewajiban untuk membayar kembali semua kerugian negara atau kerugian korban hingga kembali seperti semula. Bila dimasukan ke dalam lapas atau rutan diperlukan biaya makan, kesehatan, pengawasan yang tinggi selama di penjara dan kerugian negara atau korban belum tentu kembali.              

“Renungan kita bersama, apakah cocok hukuman pidana alternatif di Indonesia? Mari kita kaji (keadilan restoratif, red) secara lebih mendalam karena baik di negeri orang belum tentu baik di negeri sendiri. Ada kaidah fiqih, 'perdamaian adalah puncak segala hukum',” tutupnya.   

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan awalnya konsep keadilan restoratif muncul pada tahun 1977 di Amerika Serikat, yang merupakan penyelesaian perkara pidana dengan cara mediasi antara pihak korban dan pelaku tindak pidana. Di Indonesia, penerapan keadilan restoratif diadopsi salah satunya melalui UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU ini mengatur model penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, serta pihak terkait secara adil.

“Perkara ini menekankan pemulihan kembali dalam keadaan semula, bukan pembalasan,” kata Burhanuddin. (Baca Juga: Kejaksaan Hentikan 222 Perkara Lewat Keadilan Restoratif)

Kejaksaan telah melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana sesuai Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, proporsionalitas, cepat, sederhana, dan biaya ringan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait