Ketua MA: Hakim Bukan Robot atau Algojo
Berita

Ketua MA: Hakim Bukan Robot atau Algojo

Temuan ICW tentang tren vonis korupsi dibantah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MA, Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA, Hatta Ali. Foto: RES

Ketua Mahkamah Agung (MA), M Hatta Ali membantah hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan bahwa sepanjang 2015, vonis kasus korupsi cenderung lebih ringan dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Hatta, tren vonis perkara di tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK) justru seringkali lebih berat dari pengadilan tingkat pertama dan banding.

“Saya juga mengikuti fluktuasi putusan tindak pidana korupsi di MA. Pada tingkat kasasi dan PK banyak hukuman dari pengadilan tingkat bawah justru dinaikkan. Jadi, kecenderungan sanksi tipikor itu menurun, saya kira tidak demikian,” ujar Hatta di sela-sela perayaan HUT MA ke-70 di Gedung MA Jakarta, Rabu (19/8).

Hatta menegaskan bahwa putusan menjadi bagian dari independensi hakim. MA tidak pernah meminta hakim untuk menjatuhkan vonis berat atau ringan. Pertimbangan berat atau ringan, lanjut Hatta, didasarkan pada bobot dan tingkat kesalahan terdakwa serta besar kecilnya kerugian negara, khusus untuk kasus korupsi.

“Hakim bukan algojo atau robot yang harus menjatuhkan hukuman pidana sekian-sekian. Saya kira semua hakim punya hati nurani,” kata dia.

Namun, Hatta mengingatkan seluruh hakim agar dalam menjatuhkan vonis kasus korupsi tidak larut dengan opini publik yang mendorong rasa emosional untuk menghukum. Bagaimanapun penjatuhan pidana harus selalu mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis.

Hatta mencontohkan ada hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana sangat rendah yakni satu tahun penjara. Setelah dilihat faktanya dalam putusan ternyata ternyata korupsi yang dilakukan tidak lebih dari Rp15 juta.

“Saya kembali tanya pada Anda, seandainya korupsi sebesar Rp15 juta, apakah adil dijatuhi empat tahun penjara? Tentu hati nurani bicara, itu menimbulkan ketidakadilan. Jadi, kasus ini dikenakan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang ancaman pidananya minimal 1 tahun, tidak dikenakan Pasal 2 yang ancaman pidanannya 4 tahun,” kata Hatta menjelaskan.

Tags:

Berita Terkait