Kewajiban Notaris Menyimpan Rahasia Tak Berlaku untuk Tindak Pidana Khusus
Kolom

Kewajiban Notaris Menyimpan Rahasia Tak Berlaku untuk Tindak Pidana Khusus

Khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.

Menurut Pasal 35 dan Pasal 36 UU Tipikor, antara lain disebutkan bahwa setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dan kewajiban memberikan kesaksian berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia. Pekerjaan atau jabatan dalam pasal ini dapat dimaknai salah satunya adalah pekerjaan atau jabatan Notaris.

Sementara itu menurut Pasal 35 UU Perpajakan disebutkan antara lain bahwa apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.

Selanjutnya menurut Pasal 45 UU Pencucian Uang disebutkan pula antara lain adalah bahwa dalam melaksanakan kewenangannya (meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta) maka terhadap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. Yang dimaksud dengan kerahasiaan antara lain rahasia bank, rahasia non-bank, dan sebagainya.

Kemudian menurut Pasal 72 UU Pencucian Uang antara lain disebutkan pula bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari: 1. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, 2. tersangka atau 3. terdakwa.

Dalam meminta keterangan bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lain. Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan juga termasuk ketentuan mengenai kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor. (Pihak Pelapor yang dimaksud dalam Pasal ini salah satunya adalah Notaris)

Mengacu kepada UU Tipikor, UU Perpajakan dan UU Pencucian Uang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban notaris dalam menyimpan rahasia ditiadakan atau tidak berlaku. Khususnya informasi yang terkait dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.

Atas dasar itu, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang, sebenarnya tidak membutuhkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris.

Oleh karena itu aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) seharusnya tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan kepada Majelis Kehormatan Notaris. Sejalan dengan itu pula jika seandainya kepada Majelis Kehormatan Notaris dimintai persetujuan oleh aparat penegak hukum, sebaiknya Majelis Kehormatan Notaris tidak perlu ragu-ragu untuk memberikan persetujuannya. Namun jika Majelis Kehormatan Notaris menolak memberikan persetujuan, aparat penegak hukum dapat menempuh prosedur hukum yang diatur oleh Pasal 43 KUHAP yaitu memohon persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setempat.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn., adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait