Aturan kewenangan DPR memilih calon hakim agung (CHA) kembali dipersoalkan melalui pengujian Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Bila sebelumnya sejumlah LSM yang menguji ketentuan tesebut, kali ini giliran Syafrinaldi, seorang akademisi yang pernah menjadi calon nonkarier dalam seleksi CHA pada 2011 tapi gagal dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR.
Ketentuan yang diuji Syafrnali dinilai bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 karena seharusnya DPR hanya berwenang memberikan persetujuan CHA yang diusulkan KY, bukan memilih dengan menggelar uji kepatutan dan kelayakan. Syafrinaldi merasa dirugikan lantaran pernah tak diloloskan dalam fit and proper test di DPR. Padahal, dalam seleksi di KY, dia menempati rangking teratas.
“Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kewenangan kepada KY mengusulkan CHA untuk mendapatkan persetujuan DPR, selanjutnya ditetapkan oleh Presiden, itukan sudah jelas,” kata kuasa hukum pemohon, Endang Suparta dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Kamis (7/3).
Pasal 8 UU MA |
Endang menegaskan mengacu pada UUD 1945 itu, DPR seharusnya hanya berwenang menyetujui CHA yang diusulkan KY, bukan memilih kembali. “Kalau mekanisme ini terus berlanjut akan membahayakan posisi calon hakim agung. DPR kan berisikan orang-orang politik yang tidak terbiasa berpikir disiplin ilmu hukum,” kata Endang.
Menurutnya, pemilihan calon hakim agung oleh DPR seringkali didasarkan faktor suka atau tidak suka dan lobi politik serta faktor kedekatan dengan fraksi tertentu. ”Ini yang membuat pemohon tersingkir, padahal dia berada posisi teratas saat seleksi di KY, ini jelas merugikan pemohon,” katanya.
Syafrinaldi menambahkan secara gramatikal makna persetujuan dalam UUD 1945 dan pemilihan dalam UU MA jelas sangat berbeda. “Dalam bahasa apapun kita maknai pemahaman tentang persetujuan ya tetap persetujuan, sedangkan pemilihan ya tetap pemilihan,” kata Syafrinaldi.